Namun, dugaannya keliru. Persis di depan pintu ruang kemoterapi, berdiri sosok-sosok rupawan yang masih memiliki sisa cinta untuknya. Wanita bergaun pale blue dengan rambut ponytail yang berdiri paling dekat pintu, tak lain Syifa. Agak ke samping kiri, di depan kaca, nampak figur wanita cantik berhijab putih bersih. Sejak tadi Dinda-wanita berhijab itu-menggigit bibirnya. Ia tak tega mendengar Calvin kesakitan di dalam sana.
Anton dan Revan berdiri di dekat Syifa dan Dinda. Sekali-dua kali Anton menghela nafas berat, menatap langit-langit putih. Sama tak teganya seperti Dinda. Sementara Revan sedikit menyingkap kerah jas birunya, memegang erat kalung tasbih yang ia pakai. Begitulah yang biasa dilakukannya tiap kali menemani sahabat Tionghoanya kemoterapi.
"Aku teringat Adica..." desis Syifa, matanya berkaca-kaca.
Dinda mendekat, lalu merangkulnya. Syifa terisak tertahan.
"Adica sudah pergi, lalu sekarang Calvin. Mengapa cobaan demi cobaan menimpa keluargaku?"
"Aku juga sedih, Syifa. Demi Allah, aku rela kabur dari suamiku yang fanatik itu demi Calvin. Sabar ya...kita temani dia." Dinda berkata menguatkan. Lembut menghapus air mata Syifa dengan ujung hijabnya.
"Kalian tahu? Kondisi Calvin akhir-akhir ini semakin memburuk." Tetiba Anton angkat bicara.
Tiga pasang mata menatapnya. Anton meneruskan.
"Kesehatannya menurun sampai-sampai ia tak kuat menulis lagi."
Refleks Syifa menepuk dahinya. "Oh iya, aku ingat. Terakhir dia menulis tanggal 26 bulan lalu. Tulisan..."
"Perang dagang sejauh ini." sela Dinda lirih.