Kau tak akan terganti (Kahitna-Takkan Terganti).
Gawat, Silvi telah melakukan kesalahan. Ia tidak melakukan eye contact pada audience. Mata hijaunya malah terarah lurus ke arah sesosok pria sangat tampan berparas oriental yang tengah bermain piano. Bukannya memandang audience, Silvi justru melayangkan pandang pada pianis yang mengiringinya.
Sudut mata Calvin berembun. Berpadu dengan kesakitan. Ada apa dengan Calvin? Mengapa ia kesakitan lagi? Apakah sel-sel yang mengganas di tubuhnya berulah lagi?
Calvin tetap bertahan di tempatnya. Walau rasa sakit terus menginvasi. Ingin sekali Silvi memeluk tubuh itu. Tubuh yang rapuh dan menunggu waktu.
** Â Â Â
Janji harus ditepati. Sangat khas Calvin. Pria yang lahir di hari kesembilan bulan dua belas itu merengkuh Silvi erat. Ia biarkan Silvi menangis dalam dekapannya. Memeluk Silvi dan menjadi tempatnya bersandar menjadi pengalih dari rasa sakitnya sendiri.
"Calvin, seharusnya kau tak perlu bawa aku ke rumahmu. Bagaimana jika keluargamu tahu?" Silvi setengah terisak. Merasakan sensasi kehangatan sewaktu Calvin menghapus air matanya.
"Biarkan saja. Ini pilihanku."
Pilihan, lagi-lagi soal pilihan. Bila Calvin sudah memilih, sulit bagi siapa pun untuk mengintervensi pilihannya. Pendirian Calvin teramat kuat.
Calvin dan Silvi berpelukan erat di pinggir kolam renang. Jas putih dan gaun putih masih mereka kenakan. Langit malam di atas mereka menjadi saksinya.
"Aku sepi karena hatiku dipatahkan oleh seorang biarawan. Kamu sepi karena kematian anak adopsimu dan kenyataan akan kondisimu sendiri..."