"I'm good." sahut Calvin tanpa mengalihkan pandang dari jalanan di depannya.
"Kamu kayak lagi banyak pikiran. Ada apa sih?"
Sulit mengelabui Silvi. Sedikit saja ada yang berbeda dari Calvin, ia langsung bisa merasakan.
"Aku dilarang main piano sama keluargaku. Aku juga dilarang ketemu kamu. Tapi, ini kegiatan sosial. Kegiatan sosial yang kaitannya dengan Ivana."
Saat menyebut nama anak adopsinya, wajah Calvin berubah sendu. Teringat kematian tragis Ivana karena Limfoma, kanker kelenjar getah bening, dua tahun lalu.
"Sorry..." desah Silvi.
"No problem. Sudah berlalu." Calvin menepis lembut permintaan maaf gadis yang dicintainya.
"Kamu baik sekali, Calvin. Kemauanmu untuk bermain piano lagi di acara penggalangan dana untuk anak penderita kanker sangat mulia. Keputusanmu sudah benar. Oh ya, kenapa keluargamu melarangmu bertemu denganku?"
Embun beku menetesi hati Calvin. Dingin, sedingin respon keluarganya tadi.
"Mereka tak mau aku menikahimu. Kata mereka, kamu hanya...maaf, perempuan tak berguna dan bisa merebut hartaku. Padahal aku sama tak bergunanya. Dulu kuadopsi Ivana justru karena aku tahu aku tidak sanggup memiliki keturunan. Soal merebut hartaku...honestly, merekalah yang selama ini di bawah tanggung jawabku. Mereka yang lebih banyak menghabiskan harrtaku, bukan kamu."
Silvi terenyak. Kisah model opera sabun dan cheesy macam itu masih saja terulang di dunia nyata. Benar-benar klise.