Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

I'tikaf Cinta, Sebuah Penolakan

10 Juni 2018   03:50 Diperbarui: 10 Juni 2018   04:30 979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Satu pertanyaan yang sulit dijawab. Entah apa yang muncul di otak Revan saat melempar pertanyaan itu pada Calvin. Pria blasteran Minahasa-Turki itu sukses membuat sahabat Tionghoanya bingung.

"Aku tak tahu harus menjawab apa, Revan." ungkap Calvin akhirnya, mengedarkan pandang ke sekeliling ruang kerja mewahnya.

Mata biru Revan melebar. "Jadi, apa tujuan kamu i'tikaf nanti malam kalau bukan berdoa?"

"Ya, hanya ibadah saja. Tidak ada doa khusus yang ingin kuberikan." Calvin menyahut apa adanya.

"Are you sure? Ini bulan mulia, kesempatan langka. Masa tidak mau berdoa apa-apa?"

"Nope."

Hening. Revan tak mengerti jalan pikiran Calvin. Ia berpaling, membantu Calvin membereskan mejanya. Buat apa beri'tikaf di malam ganjil Ramadan bila tak punya permohonan khusus pada Allah?

"Ah sudahlah, aku gagal paham. Ayo ke masjid. Nanti nggak keburu."

Dua pria tampan berjas mahal itu melangkah pergi. Waktu berbuka puasa kian dekat. Mereka mengejar waktu berbuka. Mana enak buka puasa di kantor? Serajin apa pun Calvin dalam bekerja, kantor bukan tempat pilihannya untuk berbuka.

Sepuluh menit Calvin dan Revan adu cepat ke basement. Cepat-cepat membuka pintu mobil, lalu melaju pergi. Nissan X-Trail Revan di depan, menyusul Mercy GLC Calvin di belakangnya. Langit senja bertabur warna ungu kemerahan. Sebentar lagi, senja berganti malam. Malam ganjil di penghujung Ramadan yang khidmat.

Allah memudahkan perjalanan mereka. Mereka berdua tiba di masjid lima menit sebelum waktu berbuka puasa. Segera saja Calvin dan Revan berbaur dengan jamaah lainnya. Kehadiran mereka menuai tatapan heran seperti biasa. Selain karena ketampanannya, jamaah merasa asing ada laki-laki separuh bule dan pria Tionghoa masuk masjid.

"Kapan ya, mereka berhenti menatap aneh ke arah kita?" tanya Revan dalam bisikan pelan.

Calvin diam. Bukankah semua pertanyaan tak perlu dijawab?

**    

Keduanya berlari-lari menuruni tangga masjid. Masih ada jeda waktu sebelum shalat Isya dan Tarawih dimulai. Revan menggerutu panjang-pendek, Calvin tetap sabar. Kunci mobil tergenggam di tangan mereka.

"Jamaah tolol! Kenapa harus menumpahkan saus tepat di jasku?" Revan memaki, melepas jas Versacenya berang.

"Sabar, Revan...dia tidak sengaja. Sudah tua, jangan marah lagi dong. Nanti nggak optimal." Calvin pelan mengingatkan.

Malam turun perlahan menggantikan senja. Belasan batang lampu di halaman masjid memuntahkan cahaya. Samar terdengar desing kendaraan dan seruan para pedagang makanan yang stand by di depan masjid. Suasana malam Ramadan mulai menebar.

Revan membuka pintu mobil. Di bangku belakang, terdapat setelan Bottega Veneta biru laut yang terlipat rapi. Selalu membawa baju ganti, begitulah kebiasaan Calvin dan Revan tiap kali bepergian. Buru-buru Revan memakainya. Sementara Calvin melipat jas yang tadi dilepas Revan.

"Sorry ya, merepotkanmu. Hmmm padahal bentar lagi kamu mau isi tausyiah perdana sebagai Ketua Persatuan Muslim Tionghoa di depan jamaah Pribumi. Malam ini kan i'tikaf dan Tarawih akbar."

"No problem. Aku juga tidak menyangka bisa terpilih. Rasanya aku belum pantas."

"Siapa bilang kamu tidak pantas, Calvin? Kamu pantas sekali mendapatkan jabatan itu."

Malam telah turun sempurna ketika mereka keluar dari mobil. Bintang-bintang berkerlipan, cahaya bulan tersenyum malu dari balik gumpalan awan. Kebisingan jalanan di depan masjid mulai berkurang. Terlihat beberapa mobil memasuki masjid. Jamaah yang terlambat datang berhamburan. Mereka telah memesan tempat untuk i'tikaf di masjid besar ini.

Sebuah Honda Jazz putih menepi. Dari dalamnya, turun seorang gadis cantik berabaya Turki. Abaya yang dipakainya berwarna putih, seputih kulitnya. Tak sengaja Calvin menatap gadis itu. Hatinya berdesir. Ya Allah, mengapa di malam ganjil Ramadan, ia harus bertemu dengannya lagi?

Menghindari pertemuan, Calvin menarik lengan Revan. Setengah menyeretnya masuk masjid lewat pintu samping. Revan memprotes, tak tahu apa salahnya diseret begitu. Tak biasanya Calvin bersikap kasar pada orang lain, apa lagi sahabatnya. Celakanya, gadis cantik berwajah perpaduan Kaukasoid itu melihat. Senyum bermain di bibir indahnya. Pikir gadis itu, malam di bulan Ramadan akan makin indah dengan hadirnya malaikat tampan bermata sipit.

**      

Tanpamu cinta tak berarti

Cinta sudah lewat

Tak kukira kan begini

Mengapa harus ku terikat

Meski tak terucap

Hanya aku yang ada di hatimu (Kahitna-Cinta Sudah Lewat).

**      

Malam ganjil Ramadan begitu indah. Langit cerah dihiasi bintang. Damai menyelimuti. Rumput, pohon, bebatuan, air, angin, semuanya bertasbih padaNya. Malam ini kian diperindah oleh hadirnya sesosok malaikat tampan bermata sipit.

Kehadirannya memesonakan para jamaah. Suara bassnya yang empuk dan merdu membimbing mereka pada kalimat-kalimat Tauhid yang mendamaikan. Tangannya terulur penuh kasih untuk menyalami siapa pun jamaah yang mendekat dan ingin berinteraksi dengannya. Ia bawakan kedamaian, pencerahan, dan kasih sayang dalam tausyiahnya. Namun, tak semua jamaah suka. Ada pula yang melontarkan tatapan tajam. Menganggap ketua baru organisasi berbasis etnis dan agama itu terlalu muda.

Bukan Calvin Wan namanya kalau tidak bisa sabar. Ia hadapi saja jamaah yang kontra padanya tanpa sedikit pun kemarahan. Mengundang rasa penasaran di hati jamaah pro, sesabar apakah Calvin?

Selesai shalat Tarawih, Calvin membimbing para jamaah berzikir dan berdoa. Melafazkan asma-asma Allah dengan penuh cinta. Blogger dan pengusaha retail itu menundukkan hatinya untuk memuji Rabbnya. Seperti jawabannya pada Revan, ia tak punya doa khusus di malam ganjil Ramadan. Cukup beribadah dan memujiNya saja, itu sudah cukup.

Revan duduk di sampingnya. Khusyuk berzikir dan berdoa. Suite birunya kontras dengan jas hitam Calvin. Tak dapat diingkari, Calvin dan Revan menjadi penghuni masjid yang paling menawan dan menyita perhatian malam ini. Hati Rektor muda dan ketua yayasan pendidikan itu sedih. Biar bagaimanapun, Calvin tetap sahabatnya. Revan peduli kondisi Calvin. Ia sadar, Calvin harus didoakan agar mendapat kesembuhan dan kebahagiaan.

Tanpa Calvin sadari, ada sesosok pria yang separuh darahnya tercampur dengan darah Turki tengah mendoakannya. Mengharapkan kebahagiaan, kesehatan, dan keberhasilannya dalam mencari cinta sejati. Boleh saja Calvin menolak untuk mendoakan dirinya sendiri di malam ganjil. Tapi ia tak bisa melarang orang lain berdoa untuknya.

Ternyata...bukan hanya Revan yang berdoa.

Di barisan saf wanita, gadis setengah bule berabaya Turki menangis sesaat dalam zikirnya. Tasbih mutiara di tangannya bergetar kuat. Air mata mengalir deras membasahi pipi putihnya.

"Malam ini indah sekali...dengan hadirmu." Si gadis terisak, wajahnya setengah tersembunyi di balik air mata.

"Aku ingin tahu bagaimana keadaanmu, Calvin. Apakah kau sudah sembuh? Apakah kau masih menyimpan biola itu? Kautahu, Calvin Sayang? Aku kabur dari calon tunanganku demi bisa melihat dirimu di sini."

Gadis itu terus menangis. Wajah pualamnya didominasi gurat kesedihan. Mata biru-kecoklatannya tertuju ke arah Calvin. Hatinya terus mendaraskan doa untuk pria yang dicintainya.

"Malaikat tampan bermata sipitku, aku masih mencintaimu. Andai saja kamu bukan surviver kanker, andai saja kamu bukan mantan suami sepupuku yang diceraikan karena vonis itu, andai saja kamu tidak mandul...mungkin semuanya akan lebih mudah."

Ungkapan dari hati yang putus asa. Putus asa menggapai cinta sejati yang terenggut paksa. Malam Ramadan ini bukan hanya dihiasi bintang, bulan, dan keteduhan wajah malaikat. Tetapi juga berhias air mata.

**     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun