"Kapan ya, mereka berhenti menatap aneh ke arah kita?" tanya Revan dalam bisikan pelan.
Calvin diam. Bukankah semua pertanyaan tak perlu dijawab?
** Â Â
Keduanya berlari-lari menuruni tangga masjid. Masih ada jeda waktu sebelum shalat Isya dan Tarawih dimulai. Revan menggerutu panjang-pendek, Calvin tetap sabar. Kunci mobil tergenggam di tangan mereka.
"Jamaah tolol! Kenapa harus menumpahkan saus tepat di jasku?" Revan memaki, melepas jas Versacenya berang.
"Sabar, Revan...dia tidak sengaja. Sudah tua, jangan marah lagi dong. Nanti nggak optimal." Calvin pelan mengingatkan.
Malam turun perlahan menggantikan senja. Belasan batang lampu di halaman masjid memuntahkan cahaya. Samar terdengar desing kendaraan dan seruan para pedagang makanan yang stand by di depan masjid. Suasana malam Ramadan mulai menebar.
Revan membuka pintu mobil. Di bangku belakang, terdapat setelan Bottega Veneta biru laut yang terlipat rapi. Selalu membawa baju ganti, begitulah kebiasaan Calvin dan Revan tiap kali bepergian. Buru-buru Revan memakainya. Sementara Calvin melipat jas yang tadi dilepas Revan.
"Sorry ya, merepotkanmu. Hmmm padahal bentar lagi kamu mau isi tausyiah perdana sebagai Ketua Persatuan Muslim Tionghoa di depan jamaah Pribumi. Malam ini kan i'tikaf dan Tarawih akbar."
"No problem. Aku juga tidak menyangka bisa terpilih. Rasanya aku belum pantas."
"Siapa bilang kamu tidak pantas, Calvin? Kamu pantas sekali mendapatkan jabatan itu."