Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Fiksi Islami

Segelas Milkshake untuk Belahan Jiwa

1 Juni 2018   03:32 Diperbarui: 1 Juni 2018   03:43 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Stick drum itu terlempar. Pria berpostur sedang namun berwajah perpaduan Jawa dan Arab itu tersenyum meremehkan.

"Mana Calvin? Katanya dia mau battle piano sama saya." ujarnya sinis.

Gadis cantik bergaun floral itu resah. Menyimpan tanya mengapa pria belahan hatinya ingkar janji. Lelaki blasteran Jawa-Arab itu berteriak.

"Dinda, katakan pada Calvinmu itu! He's a looser!"

Setelah melempar kata penuh kemenangan, si lelaki angkat kaki. Merasa di atas angin karena telah menjatuhkan seseorang. Sesaat Dinda berdiri terpaku di tempatnya. Apa yang terjadi dengan Calvin? Kalau tak ingat sedang berpuasa, ingin rasanya ia marah dan menangis detik itu juga.

Tergesa-gesa Dinda meraih tasnya. Berjalan meninggalkan studio musik. Urusan ini benar-benar konyol. Persaingan bisnis telah merambah dunia musik juga.

**     

Suram, itulah kesan yang selalu dirasakan Dinda tiap kali bertamu ke rumah megah bercat putih di puncak bukit. Rumah Calvin selalu saja menawarkan kesunyian dan kesuraman. Layaknya mausoleum, aroma kesuraman tercium di sudut-sudutnya.

"Dimana Tuan Calvin?" Dinda mencegat seorang asisten rumah tangga yang kerepotan membawa tongkat pel dan alat pembersih lainnya di lantai bawah.

"Tuan di rumah sakit, Nona."

Kemarahan Dinda lenyap tanpa bekas. Rumah sakit? Oh God, pikirnya. Tentu saja. Mengapa dirinya begitu bodoh? Pastilah Calvin sedang terapi.

"Nona...Nona kenapa?" Suaara alto sang pengurus rumah tangga merobek kesadarannya.

"Oh tidak, tidak apa-apa. Saya permisi dulu."

Menyelempangkan tasnya, Dinda setengah berlari ke halaman depan. Menekan tombol di remote, membuat pintu sedan hitamnya terbuka otomatis. Dikemudikannya mobil dalam kecepatan tinggi. Secepatnya tiba di rumah sakit, itulah tujuannya.

"Calvin...wait me." desisnya.

Sedan melaju menuruni bukit. Persoalan battle piano dengan rival bisnis terhapus begitu saja. Kondisi Calvin jauh lebih penting. Bayangan ketakutan berkejaran di kepala Dinda. Ia membayangkan Calvin terbaring di ranjang putih, dikelilingi beberapa dokter dan suster. Orang-orang menyuntikkan sesuatu ke lengan kanannya. Menciptakan memar kebiruan. Calvin kesakitan, lalu perlahan tertidur. Ia menemukan rambut Calvin di bawah bantal. Jatuh, satu demi satu.

Tidak, itu terlalu mengerikan. Buru-buru dihapusnya bayangan itu. Dinda menguatkan hatinya, terus melanjutkan perjalanan.

"Calvin, tunggu aku...tunggu aku. Aku akan segera ke sana." lirihnya berulang, kedua matanya berkaca-kaca.

**      

Bunyi highheelsnya memecah keheningan koridor rumah sakit. Namun ia tak peduli. Biar saja seisi rumah sakit memarahinya. Bukankah Calvin jauh lebih penting?

Sudah dua kali Dinda memutari area rumah sakit. Keluar-masuk ruangan, mencari di ruangan terapi. Namun tak ketemu juga. Ke unit tempat dokter pribadi kekasihnya, nihil. Dimanakah Calvin?

Kakinya berat untuk melangkah lebih jauh. Jemari tangan Dinda bergetar mengusap peluh di dahinya. Ia tak tahu kemana lagi harus mencari Calvin.

Mengistirahatkan kakinya yang letih, Dinda menjatuhkan diri di waiting chair. Nyaris saja ia menyerah kalau tak melihat sebuah brankar didorong dengan cepat dari arah ruangan kemoterapi. Rasanya ia familiar dengan sosok di atas tempat tidur itu. Juga orang-orang berpakaian putih dan hitam itu. Mata Dinda melebar ketakutan. Ia menahan nafas, shock.

"Tuan Calvin, tolong Anda sabar." Didengarnya seorang suster berkata.

Pria tinggi berjas hitam yang memunggunginya, bukankah itu Calvin? Dia tidak terapi. Dialah yang mendorong brankar itu bersama paramedis.

"Dia adik saya, Suster. Bagaimana saya tidak cemas?"

Suara bass itu, jelas suara Calvin. Dinda melihat Calvin membungkuk, memegang tangan pemuda berambut coklat yang terbaring di brankar.

"Christ, kamu harus kuat. Kamu pasti bisa. Lawan rasa sakitnya, Christ."

Tubuh Dinda bergetar. Christ, adik tiri Calvin, sakit kanker? Ya Allah, cobaan apa lagi yang menimpa keluarga baik itu? Mengapa Calvin tak memberi tahunya?

Air mata mengaliri wajah Dinda. Menyeka kasar air matanya, Dinda berlari menjauh. Suaranya bergetar menahan sedih dan amarah saat menelepon Calvin.

"Jelaskan padaku apa yang terjadi dengan Christ! Pembohong! Kenapa kamu tidak bercerita? Katanya mempercayaiku! Bullshit!"

Hal pertama yang dilakukan Dinda adalah memaki Calvin. Dapat ia dengar helaan nafas pria tampan itu. Lelahkah Calvin? Atau putus asa?

"Nanti malam aku ke rumahmu, Dinda. Biar kujelaskan."

**       

Meskipun telah kausemaikan cinta

Di balik senyuman indah

Kaujadikan seakan nyata

Seolah kau belahan jiwa

Meski ku tak mungkin lagi

Tuk menjadi pasanganmu

Namun kuyakini cinta

Kau kekasih hati (Kahitna-Soulmate).

**      

Di luar, langit memerah. Pendar terakhir bersaput keemasan terbenam perlahan di kaki langit. Disusul seruan azan Maghrib menyejukkan hati.

Waktu berbuka puasa seharusnya menyenangkan. Tapi Dinda tak menikmatinya. Sejak tadi ia belum menyentuh steak, minuman, dan takjil yang disiapkan asisten rumah tangganya. Ia resah, menanti kedatangan seseorang.

Menunggu itu belajar sabar. Kini Dinda tengah melakukannya. Blogger, pianis, model, dan novelis cantik itu bergerak resah di kursinya. Pasrah, hanya itu yang bisa terpikir di tengah penantian.

Deru mobil disusul bunyi bel pintu menyentakkan atensinya. Sejurus kemudian ia berlari ke pintu utama dan membukakannya. Apa yang ia nantikan telah datang.

Plak!

Benarkah ini sambutan hangat? Maniskah menyambut seorang pria dengan tamparan? Nyatanya, Dinda melayangkan tangan untuk menampar Calvin begitu mereka berhadapan. Dinda tak melihat paperbag berisi segelas milkshake favoritnya di tangan kanan Calvin.

"Tampar saja aku...aku pantas mendapatkannya." Calvin maju dua langkah, menyodorkan dirinya untuk ditampar.

Ini kegilaan. Calvin Wan, blogger dan pengusaha retail super tampan, banyak disukai wanita, merelakan dirinya ditampar dan disakiti?

Tangan Dinda menggantung lemas di sisi tubuhnya. Hatinya kesal, kecewa, sedih, bercampur marah.

"Calvin Wan, aku kecewa padamu! Who do you think you are?! Kamu tidak menceritakannya padaku! Kamu..."

"Sebelum lanjut marah-marahnya, minumlah ini. Berbukalah, aku tahu kamu belum membatalkan puasamu sejak tadi." Calvin menyela lembut. Mengulurkan gelas berisi milkshake.

Dinda terperangah. Calvin memang pribadi yang istimewa. Ia rela datang ke rumah Dinda hanya untuk ditampar, dimarahi, dan masih sempat memberikan minuman kesukaannya. Mau tak mau ia meminum milkshake itu. Kelezatannya mengalir pelan, dari lidah turun ke hati. Sejenak memadamkan bara kekecewaannya.

Sejak awal Ramadan, Dinda mendadak jatuh hati pada milkshake. Walaupun cinta pertamanya di ranah minuman tetaaplah green tea dan Earl Grey. Baginya, milkshake memberikan sensasi tersendiri. Minuman yang menyehatkan dan bergizi pastinya.

"Calvin, kau harus jelaskan padaku. Apa yang terjadi pada dirimu? Pada Christ?" paksa Dinda.

Pria tampan berdarah Tionghoa itu menghela nafas berat. Menatap langit-langit, lalu beralih menatapi wajah cantik di sisinya.

"Christ sakit kanker, Dinda. Sekarang sudah bermetastasis ke tulang."

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un...kenapa kamu tidak cerita?"

"Untuk apa berbagi kesedihan? Hanya kebahagiaan yang boleh dibagi."

Sorot kekuatan terpancar jelas di mata sipit bening itu. Calvin berusaha tegar dan kuat.

"Honestly, aku mengkhawatirkan keadaan Christ. Dan aku khawatir tidak bisa bersamamu." ungkap Calvin tetiba.

Disingkapnya lengan dan bagian bawah suite mahalnya. Di lengan kanannya, nampak banyak sekali bekas memar kebiruan. Sementara di perut Calvin, terdapat bekas jahitan operasi yang sulit tersamarkan.

"Aku sakit, Dinda. Bayangkan bila kita menikah. Infertilitas, itu sudah jelas. Dokter sendiri yang mengatakannya. Aku tidak akan bisa membuatmu bahagia."

"Bagaimana bila aku tak peduli? Aku bisa menerima pernikahan tanpa seks dan keturunan."

"Mungkin kamu bisa, tapi orang-orang di sekelilingmu belum tentu. Dinda, orang-orang yang mencintaimu belum tentu mencintai orang yang kaucintai."

Kristal bening mendarat di pipi Dinda. Ia dan Calvin bertatapan. Berat sekali beban Calvin. Ia bukan hanya harus kuat menghadapi kelemahan dirinya sendiri, melainkan harus pula memperjuangkan kesembuhan adiknya.

"Kamu kuat, Calvin. Dan aku tidak peduli atas apa pun konsekuensi itu. Entah sebagai apa, aku akan tetap menemanimu. Aku tetap ingin menghabiskan sisa hidup denganmu. Tak peduli sebagai paasangan hidup, atau hanya sebagai belahan jiwa yang tak bisa hidup satu atap."

Gelembung kaca di mata Calvin pecah. Tertahan sejenak, lalu turun pelan-pelan.

"Kita tidak tahu sampai dimana jodoh kita." desah Dinda.

"Tapi aku selalu ingat firman Allah. Setelah ada kesulitan, selalu ada kemudahan. Tetap kuat, malaikat tampan bermata sipitku."

**    

Paris van Java, 1 Juni 2018

Tulisan cantik, ditulis dengan kesedihan dan ketegaran.

**       

https://www.youtube.com/watch?v=QIOXSjl2vsw

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Fiksi Islami Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun