"Nona...Nona kenapa?" Suaara alto sang pengurus rumah tangga merobek kesadarannya.
"Oh tidak, tidak apa-apa. Saya permisi dulu."
Menyelempangkan tasnya, Dinda setengah berlari ke halaman depan. Menekan tombol di remote, membuat pintu sedan hitamnya terbuka otomatis. Dikemudikannya mobil dalam kecepatan tinggi. Secepatnya tiba di rumah sakit, itulah tujuannya.
"Calvin...wait me." desisnya.
Sedan melaju menuruni bukit. Persoalan battle piano dengan rival bisnis terhapus begitu saja. Kondisi Calvin jauh lebih penting. Bayangan ketakutan berkejaran di kepala Dinda. Ia membayangkan Calvin terbaring di ranjang putih, dikelilingi beberapa dokter dan suster. Orang-orang menyuntikkan sesuatu ke lengan kanannya. Menciptakan memar kebiruan. Calvin kesakitan, lalu perlahan tertidur. Ia menemukan rambut Calvin di bawah bantal. Jatuh, satu demi satu.
Tidak, itu terlalu mengerikan. Buru-buru dihapusnya bayangan itu. Dinda menguatkan hatinya, terus melanjutkan perjalanan.
"Calvin, tunggu aku...tunggu aku. Aku akan segera ke sana." lirihnya berulang, kedua matanya berkaca-kaca.
** Â Â Â
Bunyi highheelsnya memecah keheningan koridor rumah sakit. Namun ia tak peduli. Biar saja seisi rumah sakit memarahinya. Bukankah Calvin jauh lebih penting?
Sudah dua kali Dinda memutari area rumah sakit. Keluar-masuk ruangan, mencari di ruangan terapi. Namun tak ketemu juga. Ke unit tempat dokter pribadi kekasihnya, nihil. Dimanakah Calvin?
Kakinya berat untuk melangkah lebih jauh. Jemari tangan Dinda bergetar mengusap peluh di dahinya. Ia tak tahu kemana lagi harus mencari Calvin.