Dalam gerakan slow motion, Calvin memeluk Dinda. Keduanya berpelukan, erat dan lama. Begitu eratnya mereka berpelukan sampai-sampai tak menyadari keributan kecil di gerbang rumah. Bunyi gemeretak dan derap langkah kaki saat dua orang asisten rumah tangga menempelkan tulisan di pintu gerbang: Native, Moslems.
"Aku berharap bisa bertemu kau lagi setelah ini, Dinda Sayang." ungkap Calvin penuh kerinduan.
"Apa maksudmu? Sepertinya, kita akan berpisah untuk selamanya saja."
Bukannya menjawab, Calvin melepas pelukannya. Sekali lagi mendaratkan ciuman di pipi istrinya, kemudian melangkah turun ke halaman. Membuka pintu Porchenya. Melajukan kendaraan mewah itu secepat-cepatnya.
** Â Â Â Â
Entah apa yang sudah terjadi dengan negara ini. Dengan ibu kota ini. Kota yang sesungguhnya cantik, namun telah disesaki gedung-gedung pencakar langit. Kota yang semula telah panas, kini kian memanas oleh gejolak konflik politik. Tuntutan utama digulirkan oleh para mahasiswa dari sebuah kampus ternama. Tuntutan agar Presiden meletakkan jabatannya. Gerakan yang mereka usulkan bernama Reformasi. Entah apa namanya itu. Mungkin semacam ideologi baru.
Di tengah situasi ibu kota yang membara, Calvin nekat berkendara. Menempuh jarak 26 kilometer demi bertemu anak-anak kesepian di pemukiman para buruh pabrik itu. 26, angka yang disukainya tahun ini. Angka yang menandai usianya. Di umur 26 tahun, Calvin telah mendapatkan hampir semua yang diinginkannya: karier, aset kekayaan, kesempatan untuk terus beramal, bakat, prestasi, keluarga, dan istri yang cantik. Hampir semua. Hanya dua yang tak sanggup ia dapatkan: kesehatan dan keturunan.
Mobil terus melaju. Menembus ruas-ruas jalan raya yang bergolak oleh kerusuhan dan demonstrasi. Lelaki-lelaki berambut cepak dan berbadan tegap meneriakkan yel dan provokasi. Serombongan warga lokal berjalan keluar dari pusat perbelanjaan. Mereka membawa kasur baru, televisi, kulkas, perabotan, dan pakaian. Satu-dua remaja berpenampilan seadanya menenteng gitar dan kemeja.Â
Di trotoar, puluhan orang berjalan beriringan. Nampaknya mereka para pegawai kantoran yang kesulitan menemukan angkutan umum untuk pulang ke rumah. Keadaan genting begini, hanya sedikit kendaraan umum yang berani beroperasi.
Calvin tak gentar. Niat sudah diluruskan. Demi mengobati kerinduan pada hadirnya seorang anak, ia rela menantang bahaya. Tak mengapa dirinya divonis mandul karena penyakit kanker dan efek samping kerasnya obat-obatan kemoterapi. Asalkan dirinya masih bisa membahagiakan anak-anak lainnya. Menjadi ayah dari puluhan anak tak beruntung.
"Bismillahirrahmannirrahim..." Calvin bergumam lirih, meluruskan niat. Membuka mata selebar-lebarnya, melihat realitas sosial yang menyakitkan di hadapannya.