"Kamu tidak tahu bagaimana rasanya, Adica." desah Calvin. Gemetar menepis tangan Dinda yang mengulurkan mangkuk berisi sereal.
"Saya memahami, walau tidak merasakan." balas Adica meyakinkan.
Keheningan yang menyusul setelahnya begitu menyakitkan. Susah payah Dinda menahan tangis. Tak tega melihat suami super tampannya seperti itu. Ya, Calvin tetaplah tampan. Walau tubuhnya digerogoti usia dan beberapa penyakit. H46 tahun tak memudarkan ketampanan Calvin Wan. Kanker darah, vonis infertilitas, sindrom pascatrauma, depresi, dan Psikosomatis tidak berhasil meredupkan pesonanya.
Tepat di depannya, Adica, dengan usia yang sama, tetap segar dan sehat. Semangat hidup mengaliri urat-urat darahnya. Kebaikan hati terlukis di wajah tampannya.
"Ayo dimakan, Sayang. Sedikit saja." bujuk Dinda sabar.
Sejurus kemudian ia meraih sendok. Menyuapkan sesendok penuh makanan untuk suaminya. Sesaat Calvin menerima suapan itu. Mengunyahnya, namun baru setengah jalan...
"Calvin, are you ok?"
Tertatih ia ke wastafel dan memunthkannya. Tubuh Syifa menegang. Jijik, tak berselera lagi menyentuh makanannya. Adica berbisik menyabarkan. Lalu ia dan Dinda mendekati lelaki baik hati yang sangat mereka sayangi itu. Mereka terpana. Ternyata...Calvin muntah darah.
"Bulan Mei selalu menjadi waktu terberat untuknya," bisik Dinda putus asa.
"Sabar, Dinda. Dia butuh kekuatan, bukan air mata. Kita harus membantunya melewati Mei kelabu dan kelam ini."
Mei kelabu. Mei yang sangat berat untuk suaminya.