Ranjang empuk ini seketika berubah seperti tumpukan jarum-jarum jahat. Sakit, pedih, menusuk tajam punggungnya. Pria tampan bermata sipit itu terbangun kaget. It's a nightmare. 20 tahun berlalu, namun mimpi buruk itu masih membayanginya.
Perlahan ia bangkit. Tangannya gemetar hebat saat menyentuh kepala tempat tidur. Hatinya seolah tercabik. Sakit ini, pedih ini, luka ini, hadir lagi.
Pintu terayun membuka. Seorang wanita cantik bergaun sutra berwarna burgundi mendekat. Mencium kedua pipinya. Mengusap keningnya yang dibanjiri keringat dingin.
"Kamu sudah bangun, Sayang?" bisik wanita itu lembut. Membelai rambut si pria oriental. Rambut yang makin menipis karena efek samping kemoterapi.
"Ayo kita sarapan. Semua orang sudah menunggumu."
"Siapa yang datang, Dinda?"
Lirih, sangat lirih, pria itu membuka suara. Suara bassnya yang biasanya empuk kini menjadi serak tercekat kesedihan dan kekalutan. Ia menatap sedih mata istri cantiknya.
"Hanya Adica dan Syifa. Mereka ingin bertemu kamu, Calvin." ujar Dinda lembut.
Ingatan Calvin berputar. Terbayang sesosok wanita anggun tapi galak dan keras hati. Wanita yang pernah membentak-bentaknya 20 tahun lalu karena dianggap telah merebut prioritas suaminya. Ah, lagi-lagi 20 tahun lalu. Masih meninggalkan jejak trauma mendalam.
Seakan bisa menyelami kedalaman hati, Dinda mengusap-usap lengannya. Berbisik lembut,
"Tak apa-apa, Calvin. Tak apa-apa...Syifa sudah tidak marah lagi. Dia bahkan ingin bertemu denganmu."