Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fiksi Selangkangan, Fiksi Religius, dan Pernikahan Tanpa Seks

8 Mei 2018   06:06 Diperbarui: 8 Mei 2018   07:38 1847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berat, melelahkan, menyedihkan, namun menggairahkan dan tak biasa. Tak biasanya inilah yang menggelorakan hati Young Lady. Dari soal sekolah sampai pasangan kekasih, Young Lady berbeda dengan saudara-saudara lainnya. Sejak kecil sudah begitu. So, bila kelak harus menikah pun, Young Lady ingin berbeda. Ingin tak sama dengan sepupu-sepupu lainnya. 

Bila kebanyakan sepupu berpacaran sekian tahun dengan orang yang sama, native pula, lalu menikah, hidup sederhana, dan istrinya tak lama langsung positif mengandung benih suami di dalam rahimnya, Young Lady tak ingin begitu. Young Lady ingin merasakan liku yang terjal dan penuh tantangan. Jenis relasi dan pernikahan beda usia, etnis, atau bangsa. Bahkan, jujur saja ya, Young Lady tak keberatan, sama sekali tak keberatan menikahi pria infertilitas. Sungguh tak keberatan. Berani, kan?

Ini semata demi mewujudkan ideologi yang tertanam dalam pikiran: pernikahan tanpa seks. Seperti ideologi yang disampaikan Young Lady dalam cerita. Potongan adegan di awal tadi salah satu contohnya.

Bila fiksi religius terkesan patriarki dan mengekang wanita, fiksi selangkangan terlalu membebaskan, Young Lady mengambil jalan tengahnya. Walau jalan tengah ini tak sempurna pula. Sebab cenderung berat sebelah untuk pria. Prinsip Young Lady, tidak boleh menyakiti tokoh wanita. Tokoh wanita memang cantik, baik, pintar, dan saleh, tetapi jangan dijadikan sebagai objek penderitaan. 

Cukup sudah fiksi religius dan fiksi selangkangan menjual derita wanita. Biarlah kali ini pria saja yang menderita. Dalam cerita Young Lady, wanita tidak boleh menderita. Merekalah yang harus bahagia, kuat, mandiri, dan kaya-raya. Bahkan saat suami mereka sakit parah dan akhirnya meninggal, tokoh wanita pun tetap harus berada di posisi yang kuat.

Bila ada kasus infertilitas, prialah yang salah. Bukan wanita. Bila ada yang harus sakit parah, kecelakaan, meninggal, dilukai, dan disakiti, haruslah tokoh pria. Jangan sampai tokoh wanita mengalaminya.

Satu lagi prinsip Young Lady: no seks. Bahkan bila diceritakan tokoh pria menikah dengan tokoh wanita, tidak ada seks di antara mereka. Bagaimana mau seks? Prianya saja sakit dan divonis infertilitas. Bagaimana mau seks? Prianya saja sangat menjaga dan memuliakan wanitanya. Misalnya tokoh Calvin Wan itu. Calvin digambarkan nyaris sempurna. 

Tampan, pintar, kaya, terkenal, saleh, multitalenta. Seorang blogger super tampan, mantan model, dan pengusaha. Ia hampir memiliki segalanya. Hampir ya, hampir memiliki. Satu yang tak dimilikinya: kesehatan. Calvin Wan biasanya dikisahkan memiliki penyakit yang cukup parah, sampai-sampai ia tak mampu membuat istrinya mempunyai keturunan.

Tokoh pria dibuat tak berdaya. Sementara tokoh wanita berada dalam posisi yang kuat. Meskipun kuat, tokoh wanita tidaklah semena-mena. Biasanya, mereka mampu menerima keadaan sang pria. Baik wanita maupun pria sama-sama setia, tidak pernah tergoda untuk bermain di belakang dengan lain orang.

Walaupun Young Lady cantik bukan sastrawan, bukan pula pemuka agama, tetapi Young Lady berusaha melakukan perlawanan melalui cerita-cerita cantik di Kompasiana. So far, hanya ini yang baru bisa dilakukan Young Lady untuk melawan fiksi selangkangan dan fiksi religius yang sama sekali tidak memuaskan. Young Lady juga melawan stigma negatif yang dialamatkan pada wanita seputar kasus infertilitas. 50% kasus infertilitas karena kesalahan pria, tapi selalu saja wanita yang disalahkan. Young Lady akan terus dan terus melawan semua itu. Sebisa mungkin melawannya dengan tarian pena yang cantik.

Stigma lainnya yang ingin dipatahkan Young Lady adalah, tujuan menikah. Benarkah tujuan menikah hanya karena seks dan keturunan? Honestly, Young Lady benci sekali mendengar harapan yang diungkapkan orang-orang di pesta pernikahan: Semoga segera mendapat keturunan. Harapan yang bodoh. Tidak semua orang mampu, tidak semua orang cukup kuat untuk mendapatkan keturunan. Bila menikah hanya karena seks dan keturunan, buat apa menikah? Kalau hanya ingin anak, tinggal lakukan single parent adoption. Jangan memperbudak orang lain sebagai boneka seks dan penghasil anak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun