Pulau Dewata, surganya Indonesia. Indah dan penuh kenangan. Empat tahun lamanya Calvin tinggal di sana. Kini ia kembali lagi. Bukan untuk tinggal, bukan pula untuk mengoyak masa lalu. Melainkan untuk membuktikan keberhasilannya menulis buku. Calvin datang ke Pulau Dewata untuk menyumbangkan tarian penanya.
Tangie Resto, Renon, Denpasar, menjadi saksi bisu keberhasilannya. Peluncuran buku berlangsung sukses. Ini adalah awal, bukan akhir. Awal kesuksesan literasi untuk Calvin Wan dan Revan Tendean.
Dua sahabat berbeda etnis itu kompak mengenakan jas biru bermodel shawl colar dan single breasted. Calvin yang tidak begitu suka warna biru, mau mengalah untuk Revan. Silvi, si kembar, Luna, dan Rossie hadir pula. Lima anak itu tak mau kalah. Kompak memakai gaun berwarna soft pink. Anton, Albert, Dokter Rustian, Chantika, dan Syifa ikut menghadiri momen spesial itu.
Bila Chantika tampil dalam balutan dress hitam bermotif etnik, Syifa lebih memilih mengenakan gaun berwarna pale gold. Syifa begitu anggun dan memesona mengenakan gaun embellishment bersiluet sheath yang mewah. Model lengan trumpet dipadu aksen transparan di bagian bawah dan aksen illusion di bagian pundak membuat gaun mahal itu mengikuti lekak-lekuk tubuhnya dengan sempurna. Riasan make up simple dikombinasikan eye liner model wing dengan sapuan eye shadow di bagian bawah mata membuat penampilannya makin menawan. Anting-anting silver berbentuk tear drop menjadi pelengkapnya. Seperti biasa, Syifa hadir dengan penampilan formal yang memesona. Pesona Syifa sukses mengacaukan atensi Calvin. Berulang kali diliriknya wanita itu, tanpa sadar mengagumi kecantikannya. Pikirnya, andai saja Adica masih hidup, ia akan melihat betapa cantik istrinya kini.
"Di dunia ini, ada mantan istri, mantan suami, mantan kekasih...tetapi tidak ada mantan anak. Tak ada mantan orang tua. Kasih orang tua untuk anak mengalir kekal dan murni." Calvin mengakhiri sambutannya, melempar senyum menawan pada audience.
Tepuk tangan bergemuruh. Ini bukan sekadar peluncuran buku. Tetapi juga kegiatan amal untuk anak-anak penderita kanker. Selain dari keuntungan penjualan buku, Calvin dan Revan berdonasi dengan uang pribadi mereka. Nominalnya cukup besar. Mereka berdonasi di Hari Jumat, hari yang baik untuk berbagi.
Lantaran ini Hari Jumat, acara pun dipersingkat. Ibadah nomor satu. Calvin gelisah. Terus-terusan melirik arlojinya. Revan, Anton, dan Albert memberi kode. Keempat sahabat itu berlari kecil menuju mobil. Mengejar shalat Jumat, itulah yang mereka lakukan.
"Kau saja yang menyetir, Revan. Tanganku tremor." kata Calvin, amat khawatir ketinggalan shalat.
Mobil meluncur ke selatan. Albert dan Anton menyalahkan event organizer dan insan media yang kelewat lama menahan mereka. Urusan duniawi saja yang diprioritaskan.
"Sabar...sabar. Kita pasti bisa mengejar waktu. Stop, guys. Jangan marah-marah." Revan berkata menyabarkan. Lalu memarkir mobil di depan Kantor Pajak Keuangan Negara I. Letaknya di sebelah barat Lapangan Renon.
Allah Maha Baik. Mereka datang tepat waktu. Disambuti tatapan heran para jamaah. Tiga lelaki separuh bule, satu lelaki Chinese. Jelas mengundang rasa heran jamaah masjid.