"Tidak, Syifa. Aku tidak ingin meninggal di rumah sakit. Aku ingin di sini, di pelukanmu."
Sakit begitu tajam menusuk dadanya. Tanpa sadar rengkuhannya bertambah erat. Mungkin lantaran menahan sakit.
"Syifa...aku mencintaimu."
Hati Syifa bergetar. Seraut wajah di sisinya kian pucat. Tanda-tanda kehidupan perlahan meninggalkan tubuhnya. Mungkin inilah waktunya.
"Laa illaha ilallah."
Sedetik. Tiga detik. Lima detik setelah kalimat itu terucap, Izrail benar-benar datang. Mencabut nyawa dengan lembut. Syifa terisak-isak. Ia telah kehilangan. Serasa nyawanya sendiri yang tercabut.
Kesedihan Syifa menggerakkan hati Calvin, Revan, Anton, Albert, dan Dokter Rustian. Terburu-buru mereka mendekat. Shock melihat apa yang terjadi.
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un..." desis mereka bersamaan, sedih dan kehilangan.
"Papa, mungkinkah masih ada harapan? Bisakah kita bawa ke rumah sakit dan melakukan resusitasi jantung paru atau apa?" tanya Albert, suaranya bergetar.
Pertanyaan Albert disambuti tatapan putus asa Dokter Rustian. Tidak, tidak bisa. Syifa menangis terisak, menciumi wajah pria belahan hatinya. Mata Calvin dan Revan berkaca-kaca. Anton tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Mendung membayangi wajah sabar Dokter Rustian. Dua titik bening terjatuh dari pelupuk mata.
Hati mereka terpagut kesedihan. Sedih yang teramat menyakitkan. Kehilangan itu sakit, sangat sakit. Namun kehilangan adalah sebuah kepastian. Sepasti musim dan waktu, sepasti kematian. Kehilangan layaknya racun cinta. Pedih, perih, menyakitkan, namun sulit menemukan penawarnya.