** Â Â
Gadis cantik bermata biru itu duduk bertopang dagu. Mengedarkan pandang ke sekeliling ruang makan mungil bercat krem itu. Kursi-kursi berderet rapi mengelilingi meja. Empat gelas besar susu coklat dan segelas teh tersaji di tengah meja. Tepat di antara piring keramik yang dipenuhi strawberry shortcake dan teko perak berisi susu.
Samar didengarnya derap langkah berlari. Julia, Calisa, dan Rossie masuk ke ruang makan. Menghambur ke kursi favorit mereka. Syifa melangkah mengikuti. Tersenyum sabar mengawasi tingkah ketiga putrinya.
Mereka pun mulai sarapan. Julia dan Rossie tanpa ragu memuji kelezatan masakan Syifa. Sementara Calisa lebih banyak mengajak ngobrol gadis bermata biru di atas kursi roda itu.
"Silvi, dimakan dong. Kuenya enak. Mami yang buatin." bujuk Calisa halus.
Senyum ceria ketiga putri cantik Adica dan Syifa amat kontras dengan wajah murung Silvi. Pelan ia mengambil sepotong kue. Memakannya tanpa selera.
"Kenapa, Sayang? Kuenya nggak enak ya?" Syifa bertanya lembut.
"Enak kok, Auntie. Silvi cuma..."
Kata-katanya terpotong. Ponsel berbunyi. Syifa berseru senang, disusul jeritan ketiga buah hatinya.
"Papiii!"
Video call di pagi hari. Betapa senangnya. Silvi dapat mendengar jelas suara-suara ceria itu. Suara tawa, percakapan ringan, ungkapan rindu yang dilempar tanpa malu. Bibirnya ia gigit kuat-kuat. Sepupunya beruntung memiliki ayah yang sangat peduli. Sedangkan dirinya? Ayahnya saja tak pernah peduli padanya.