Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Melodi Silvi] Kata-kata Penebar Firasat

27 Maret 2018   06:58 Diperbarui: 27 Maret 2018   07:52 800
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

**    

Gadis cantik bermata biru itu duduk bertopang dagu. Mengedarkan pandang ke sekeliling ruang makan mungil bercat krem itu. Kursi-kursi berderet rapi mengelilingi meja. Empat gelas besar susu coklat dan segelas teh tersaji di tengah meja. Tepat di antara piring keramik yang dipenuhi strawberry shortcake dan teko perak berisi susu.

Samar didengarnya derap langkah berlari. Julia, Calisa, dan Rossie masuk ke ruang makan. Menghambur ke kursi favorit mereka. Syifa melangkah mengikuti. Tersenyum sabar mengawasi tingkah ketiga putrinya.

Mereka pun mulai sarapan. Julia dan Rossie tanpa ragu memuji kelezatan masakan Syifa. Sementara Calisa lebih banyak mengajak ngobrol gadis bermata biru di atas kursi roda itu.

"Silvi, dimakan dong. Kuenya enak. Mami yang buatin." bujuk Calisa halus.

Senyum ceria ketiga putri cantik Adica dan Syifa amat kontras dengan wajah murung Silvi. Pelan ia mengambil sepotong kue. Memakannya tanpa selera.

"Kenapa, Sayang? Kuenya nggak enak ya?" Syifa bertanya lembut.

"Enak kok, Auntie. Silvi cuma..."

Kata-katanya terpotong. Ponsel berbunyi. Syifa berseru senang, disusul jeritan ketiga buah hatinya.

"Papiii!"

Video call di pagi hari. Betapa senangnya. Silvi dapat mendengar jelas suara-suara ceria itu. Suara tawa, percakapan ringan, ungkapan rindu yang dilempar tanpa malu. Bibirnya ia gigit kuat-kuat. Sepupunya beruntung memiliki ayah yang sangat peduli. Sedangkan dirinya? Ayahnya saja tak pernah peduli padanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun