Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mata Pengganti, Pembuka Hati: Diriku, Waktuku, di Sisimu

13 Maret 2018   06:02 Diperbarui: 13 Maret 2018   08:08 868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: apakabardunia.com

Pria tampan berwajah oriental dan bermata sipit itu berlari menaiki lereng bukit. Jas hitamnya berkibaran. Ia harus segera tiba di puncak bukit. Gadis itu tak boleh sendirian, tak boleh.

Di pertengahan jalan, pria itu terjatuh. Lututnya berdarah. Ia bangkit, lalu berlari lagi menuju puncak bukit. Bukan Calvin Wan namanya bila mudah menyerah.

Tiba di puncak bukit, didapatinya gadis itu berdiri sendirian. Berdiri terpaku, dalam gaun hitam panjang yang anggun. Cocok dipakai gadis secantik itu. Selaput iris biru kobaltnya meredup. Bukan karena kantuk, melainkan karena kesedihan.

"Maaf aku terlambat, Silvi." bisik Calvin. Membungkuk, mengecup hangat kening Silvi.

Silvi tak menjawab. Membiarkan Calvin membelai rambutnya, lalu menyelipkan anak-anak rambut ke belakang telinganya. Rambut panjang Silvi kini lebih rapi.

"Mulai sekarang, aku takkan membiarkanmu sendirian lagi."

Dibiarkannya Calvin memeluknya. Sejujurnya, Calvin telah berkorban banyak untuk Silvi. Khususnya waktu dan kesabaran. Seluruh kesabaran yang dimiliki Calvin terkuras untuk Silvi.

Air mata Silvi meleleh. Tidakkah pria ini membuang-buang waktu? Seharusnya ia sudah menikah, namun ia malah merelakan waktunya dihabiskan bersama Silvi.

"Kamu mencintai orang yang salah." desis Silvi.

**      

"Kau telah banyak berubah, Cinta."

Cinta, panggilan sayang Silvi untuk Calvin. Ia lihat sendiri. Di kantor itu tengah banyak masalah. Kelakuan para bawahan yang keterlaluan, ditambah ketidakmampuan mereka mengurusi masalah pekerjaan, tak membuat Calvin habis sabar. Lembut, namun tetap tegas dan berwibawa, itulah tipe kepemimpinan pendamping hidup Silvi.

Pelan-pelan Silvi melangkah mundur. Berbalik menuju mobilnya. Cinta bisa melembutkan hati.

**    

Tatapan sedingin baja beku itu hadir lagi. Kesalahan tertumpahkan padanya. Gerakan tangan Calvin terhenti. Niat untuk meng-update isi blognya dengan artikel tentang ulasan film The Greatest Showman pun surut.

"Maaf kalau aku salah, Silvi."

Dagu Silvi terangkat dengan angkuh. Ia bertolak pinggang, lalu menatap tajam suami super tampannya.

"Ini semua gara-gara kamu,"

Kekecewaan yang dingin jauh lebih menyiksa dibanding teriak kemarahan. Siksaan itu sungguh sakit.

"Aku memang tidak sempurna. Tapi kupikir...menemukan ketidaksempurnaan adalah jalan menuju kesempurnaan."

Amplop di tangan Silvi melayang. Jatuh, lalu mendarat mulus di karpet. Calvin menangis, hidungnya berdarah. Ini semua kesalahannya. Jika Hipernefroma tak pernah ada, mungkin dia dan Silvi akan bisa memiliki buah hati.

**      

Rinai gerimis berubah menjadi hujan. Suara hujan teredam tembok dan kaca. Sementara di luar sana hujan menderas, di dalam sini Calvin duduk berdampingan dengan Silvi. Calvin membacakan buku untuk istrinya. Layaknya Prince Charming yang mendongengkan cerita indah untuk Princess yang kesepian.

Mau tak mau Silvi terhipnotis lembut dan empuknya suara Calvin. Tanpa sadarr digenggamnya tangan pria itu. Tangan Calvin terasa dingin. Mungkinkah ia sakit? Bila benar demikian, artinya ia membacakan buku untuk Silvi tanpa memikirkan kondisinya sendiri.

Sudut mata Silvi melelehkan kristal bening. Terima kasih untuk waktumu, Cinta.

**      

Sungguh hanyalah dirimu yang aku cintai

Dan sungguh ku kan di sisimu hingga ku mati

Meski waktu akan mampu memanggil seluruh ragaku

Kuingin kau tahu

Ku selalu milikmu

Yang mencintaimu sepanjang hidupku (Tercipta Untukku ost ending Ayat-Ayat Cinta bagian pertama).

**     

Udara dingin pagi itu, langit berselimut barisan awan hitam. Tak menyurutkan langkah Calvin dan Silvi untuk melewatkan waktu pagi di taman rumah mereka yang cukup luas.

"Terima kasih cerita indah yang kaubacakan, Cinta." ujar Silvi penuh perasaan.

"Sama-sama. Aku lelah. Bolehkah aku berbaring sebentar?" pinta Calvin.

Sejurus kemudian ia berbaring di pangkuan Silvi. Silvi membelai rambut Calvin. Terperangah merasakan beberapa helai rambut menempel di telapak tangan. Tak salah lagi. Kejamnya obat-obatan pembunuh sel kanker itu. Mata Silvi berkaca-kaca.

"Tak apa-apa, Silvi...tak apa-apa. Jangan terlalu banyak khawatir." Calvin menenangkan.

Hening. Selama sepersekian menit, Calvin berbaring tak bergerak. Wajahnya bertambah pucat dari hari ke hari. Kondisi kesehatannya terus menurun.

"Silvi?"

"Ya?"

"Aku rela sisa hidupku dihabiskan untuk menemanimu. Dan aku ingin kamu bahagia."

Hati Silvi bergetar. "Kamu telah lama menemaniku, Cinta. Aku juga mau terus menemanimu."

Menghela nafas berat, Calvin melanjutkan.

"Berbagi kasih dan mencintai itu tidak pernah salah. Mencintaimu adalah hal terindah yang pernah kulakukan."

Sejak mencintai Silvi, Calvin sedikit-banyak mulai berubah. Lebih lembut, lebih sabar, dan tak ragu meminta maaf walaupun tidak salah. Bukankah cinta bisa melembutkan hati?

Sepasang mata sipit bening itu menutup. Bibirnya bergerak pelan mengucap kalimat Tauhid. Setelah itu, semuanya berakhir.

Kesungguhan cinta telah teruji. Calvin merelakan sisa hidupnya habis untuk menemani Silvi. Ia temani Silvi hingga tiba di akhir perjalanan hidupnya.

**      

https://www.youtube.com/watch?v=aAIPj2NOUGQ

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun