Baru kali ini bisnis yang mereka rintis terbentur kegagalan. Hanya karena kesalahan kecil yang berujung fatal. Penutupan "Calv-Rose DayCare". menjadi sebuah keterpaksaan. Pilihan terakhir yang sangat pahit.
Segi positifnya, Calvin dan Rossie lebih banyak di rumah. Berusaha menikmati waktu. Berusaha menjalani hari-hari yang berlalu. Kini, tak ada lagi tawa ceria anak-anak. Rumah besar itu kembali sepi.
"Well, kita tidak bisa mendapatkan semua yang kita inginkan. Daycare itu bukan rezeki kita," kata Calvin menenangkan Rossie sore itu.
Rossie mengentakkan kaki. Melanjutkan menyiram bunga-bunga mawarnya tanpa kata. Memalingkan pandang, enggan menatap wajah suami super tampannya.
"Bunga-bungamu cantik, Rossie. Jika mekar dengan sempurna, akan terlihat lebih cantik." Calvin melemparkan pujian dengan tulus.
Si cantik blasteran Sunda-Jerman tak menyahut. Berkutat dengan tanaman bunga kesayangannya. Kelopak-kelopaknya yang cantik adalah penghapus duka. Pengusir sepi.
Tak sengaja tangan Rossie tertusuk duri mawar. Perih sekali. Darah mengalir. Dengan lembut, Calvin meraih tangan istrinya. Mengisap lembut ibu jarinya yang terluka.
Rasanya duri itu menancap terlalu dalam. Bibir Rossie tergigit kuat menahan sakit. Tembok gengsinya terlalu kokoh untuk mengeluh dan mengadu. Padahal di sini, sangat dekat dengannya, berdiri seorang pria tulus yang sangat peduli.
Perlahan Rossie rebah di pelukan Calvin. Dibenamkannya wajah ke dada pria yang mencintanya sepenuh hati.
"Tidak apa-apa, Rossie...tidak apa-apa. Aku obati lukamu." ujar Calvin, satu tangannya membelai rambut Rossie.
"Obati sekarang juga!" Tetiba Rossie menghardik kesal.
Tanpa kata lagi, Calvin menuntun Rossie ke dalam. Mendudukkannya di sofa. Dengan lembut mengobati lukanya.
Kembali Rossie kesakitan. Ia takut jarinya kena infeksi. Jangan sampai pikiran negatif itu meracuni. Harus ada pengalih perhatian.
"Calvin, lebih cantik mana? Bunga-bungaku atau diriku sendiri?" tanya Rossie cepat.
Mata Calvin melebar. Sebuah kemajuan. Tak pernah Rossie menanyakan hal seperti ini padanya.
"Tentu saja dirimu. Bunga-bunga itu kalah cantik denganmu."
Luka di jarinya terasa kian perih. Menyeringai menahan sakit, Rossie melanjutkan tanya.
"Bagaimana bila bunga-bunga itu sudah mekar sepenuhnya?"
"Kamu akan tetap jadi yang tercantik."
Seperti ada yang memompa aliran darah Rossie bertambah cepat. Pipinya merona, ia tertunduk. Gugup memain-mainkan kerah bajunya.
Luka selesai diobati. Calvin merengkuh Rossie kembali ke pelukannya. Menatap dalam-dalam mata hazel istrinya. Tangan Calvin bergerak pelan mengurai kunciran rambut Rossie. Dalam sekejap, rambut yang terkuncir rapi itu terurai. Mengelusnya, lalu Calvin menyelipkan anak-anak rambut ke belakang telinga. Rossie biarkan saja Calvin berbuat begitu.
"Rossie, aku mencintaimu." bisik Calvin.
"Aku tidak mencintaimu," balas Rossie ketus.
"No problem. Cinta bukanlah hal yang bisa dipaksakan. Mencintaimu adalah hal terindah yang pernah kulakukan."
Hati Rossie memberontak. Bila Calvin mencintainya, kemana dirinya ketika Rossie kehilangan rahim? Kemanakah Calvin saat peristiwa-peristiwa mengerikan terjadi?
** Â Â Â
Larut malam, Rossie masih terjaga. Duduk di depan laptopnya. Menulis catatan panjang.
Dia tak pernah bahagia dengan pernikahan ini. Bayang-bayang masa lalu terus menggerogoti. Vonis kanker rahim, operasi paling mengerikan, rasa percaya diri yang turun, kenyataan pedih bahwa ia tak mungkin lagi memiliki anak. Semua kesedihan itu ia tuangkan lewat tulisan.
Menghela nafas dalam, Rossie melanjutkan tulisannya. Sudah tak ada lagi air mata. Semuanya sudah habis. Kepedihan, hanya itu yang tersisa.
Calvin terbangun. Mendekati Rossie. Memeluknya dari belakang. Ia ciumi leher, tengkuk, rambut, kening, dan pipi istrinya.
"Belum tidur, Sayang?" tanyanya lembut. Mengalirkan wangi Blue Seduction Antonio Banderas ke hidung istrinya.
Tatapannya tertumbuk ke layar laptop. Terbaca olehnya catatan panjang itu.
"Kamu masih mengingatnya..." desis Calvin.
Anggukan lemah Rossie sudah menjadi jawaban. Refleks Calvin mencengkeram erat bahu Rossie.
"Apa yang bisa kulakukan..." Calvin mulai bicara dengan suara bergetar.
"...agar kamu melupakannya?"
Rossie menggeleng. Bibirnya terkatup rapat.
"Apa, Rossie? Tolong jawab."
"Tidak ada..."
Cengkeraman erat itu mengendur. Calvin menatap lekat-lekat wajah Rossie yang teduh jelita.
"Apa yang bisa kulakukan untuk membuatmu bahagia?"
"Tidak ada..."
"Apa yang bisa kulakukan untuk membantumu terbebas dari perangkap kesedihan?"
"Tidak ada..."
"Apa yang bisa kulakukan untuk membuatmu berhenti bersedih dan mengingat kesedihan?"
"Tidak ada..."
"Rika Rosiana...apa yang bisa kulakukan, untuk membuatmu kembali mencintaiku?"
"Tidak ada..."
Bukan Rossie yang menangis, tetapi Calvin. Calvin menangis, hidungnya berdarah. Rossie tertegun.
"Aku sudah gagal..." Hanya itu yang dikatakannya sebelum melangkah pergi. Meninggalkan Rossie dalam sunyi.
** Â Â Â
Di studio musik, Calvin menghempaskan tubuh di kursi piano. Meletakkan jemarinya di atas tuts piano. Memainkannya dengan gundah.
Untuk apa
Untuk apa cinta tanpa kejujuran
Untuk apa cinta tanpa perbuatan
Tak ada artinya
Untuk apa
Untuk apa cinta tanpa pembuktian
Untuk apa status kita pertahankan
Bila sudah tak lagi cinta (Maudy Ayunda-Untuk Apa).
Sudah jelas bahwa Rossie berhenti mencintainya. Mengapa Calvin tetap bertahan? Mestinya dia tinggalkan Rossie saja.
Untuk apa mempertahankannya? Calvin bersandar di kursinya. Keletihan menguasai rasa, merobek jiwa. Calvin lelah, lelah selelah-lelahnya.
Mungkin dirinya sudah gagal. Apa pun yang dilakukannya takkan membuat Rossie bahagia. Lantas, untuk apa bertahan?
Bertahan karena cinta. Ya, Calvin bertahan demi cinta. Demi Rossie. Cintanya pada Rossie, itulah yang membuatnya bertahan. Calvin Wan, suami tampan dan sempurna yang terzhalimi.
** Â Â Â
Berkali-kali Rossie memukuli bantalnya. Mencoba mengurangi rasa bersalah. Nampaknya dia telah menyakiti Calvin. Mengapa Calvin keluar dari kamar dengan wajah sepucat itu? Mengapa harus ada air mata dan darah?
"Calvin..." desah Rossie.
Ia sudah tak bisa menangis lagi. Telah lama air matanya mengering.
Pintu terbuka. Helaan nafas Rossie tertahan di ujung tenggorokannya. Ia berharap, amat berharap Calvin yang datang. Cepat-cepat ia bangkit dari ranjang. Benar saja, sosok tinggi semampai berparas rupawan itu yang ditatapnya.
Rossie menabrak Calvin. Melingkarkan kedua tangan di perutnya. Mendekapnya erat-erat seolah sudah lama berpisah.
"Calvin..."
"Rossie, kumohon. Sekali saja...temani aku bertemu keluargaku saat perayaan Imlek nanti. Bukan untuk menunjukkan status, tapi aku hanya ingin membuat mereka tahu segalanya baik-baik saja. Aku hanya ingin mereka tidak terlalu khawatir...please."
Calvin-ku memang luar biasa, bisik hati kecil Rossie. Selalu saja yang diingatnya adalah orang lain. Bukan dirinya sendiri.
** Â Â Â
https://www.youtube.com/watch?v=T0l7bf53d7A
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H