Kali ini gantian hati Calvin yang berdesir. Hangat. Nyaman ketika Silvi memeluknya erat-erat. Segala urusan pekerjaan, presentasi, tender, dan agenda meeting dengan klien terlupakan.
"Jalani saja, Silvi. Lihat progresnya dari waktu ke waktu. Kalau tidak ada perkembangan sampai lebih dari enam bulan, kauambil alih lagi. Aku siap membantumu kapan pun kamu membutuhkanku."
Mata biru Silvi bercahaya. Hatinya terasa hangat. Hangat sekali. Inilah yang dibutuhkannya. Dari pada Sarah, Silvi akan lebih memilih Calvin.
"Oh Calvin, thank you so much."
"You're wellcome."
Dering telepon di meja kerjanya terabaikan. Biarlah, biarlah hari kerja di awal pekan ini tak diisi dengan kerja. Melainkan diisi dengan kerja yang lain. Kerja yang dekat dengan hati.
"Calvin, mengapa orang yang akan menikah menjadi sangat egois?" Silvi melontarkan pertanyaan yang paling tidak disukainya.
"Seharusnya tidak begitu. Hanya harus fokus." Calvin menjawab sabar.
"Aku menyesal, menyesal sudah mempercayakan urusan ini ke tangan yang salah. Untung kita tidak menikah ya, Calvin Sayang."
Sesaat Calvin terenyak. Sebuah janji terhormat. Janji yang justru menguatkan cinta mereka. Calvin dan Silvi tidak mungkin menikah. Semua ini karena keadaan.
"Bagaimana ginjalmu?" tanya Silvi mengalihkan topik pembicaraan.