"Mana mungkin kupercayakan urusan butik pada perempuan yang dulunya pernah menjadi atheis? No way, Calvin."
Sepasang mata sipit bening itu melebar. Dicengkeramnya lengan Silvi lebih erat, namun tetap lembut.
"Itu sudah lama berlalu, Silvi. Kakakmu sudah berubah lebih baik lagi."
"Bagiku tidak, Calvin. Atheis tetaplah atheis. Mau bagaimana pun dia berubah." ujar Silvi dingin.
Pria Tionghoa berhati lembut itu merengkuh Silvi dalam pelukannya lagi. Ia bisa rasakan kekecewaan dan keresahan mendalam dari tubuh yang dipeluknya.
"Percaya saja, Silvi. Sulit memang, tapi..."
"Aku ingin menarik lagi keputusanku."
Di luar, hujan bertambah deras. Ruang kerja eksekutif yang mewah itu sempurna hening. Silvi gadis beruntung. Dia satu di antara sedikit orang yang bisa bertemu pengusaha muda sesukses dan sesibuk Calvin kapan saja. Sesibuk apa pun, Calvin selalu ada waktu untuk Silvi.
"Kurasa tidak semudah itu, Silvi." kata Calvin lembut.
"Aku mempercayai orang yang salah."
Sejurus kemudian, Silvi menenggelamkan wajahnya ke dada Calvin. Ia tidak menangis. Hanya ingin menyandarkan keresahannya di sana, hanya ingin meletakkan bebannya saja.