Sayangnya, Silvi tak pernah percaya. Gadis cantik blasteran Sunda-Inggris itu gelisah. Hatinya dicengkeram resah.
"Andai saja aku bisa melakukannya sendiri..." desahnya.
"Aku tidak akan mempercayakan uangku untuk dipegang olehnya. Bahkan pada saudaraku sendiri, persoalan uang dan bisnis, aku tak pernah percaya."
Semua ini gegara saham dan butik. Silvi tak pernah mempercayai siapa pun untuk membantunya mengelola butik, saham, dan harta simpanannya. Namun sang ibu menyuruhnya mempercayakannya pada Sarah, kakak sulungnya. Dengan terpaksa, Silvi menurut. Meski hatinya menerbitkan secercah keraguan.
Di dalam kamarnya, gadis itu berjalan memutari ruangan. Resah dan bertanya-tanya. Apa yang harus ia lakukan? Bijakkah keputusannya menuruti Mamanya? Sejak dulu, Silvi tak pernah menyukai Sarah dan Clara. Tak pernah dekat, tak pernah terbuka. Lalu, tetiba saja, ia serahkan persoalan bisnis untuk dikelola perempuan yang tidak pernah ia percaya.
Hujan menerpa kaca jendela. Tetes-tetes dinginnya berhamburaan menjatuhi halaman berumput. Langit gelap berselimutkan awan Nimbus. Suram, sesuram hati Silvi.
Sepi mengurungnya rapat-rapat. Silvi menggigiti bagian dalam pipinya. Tidak, ia bisa diam terus begini. Ia harus melakukan sesuatu.
** Â Â Â
Berada di dekat pria tampan berwajah oriental ini membuat hati Silvi berdesir. Dinginnya hujan di luar sana terkalahkan dengan kehangatan yang menyelimuti jiwa. Silvi berpelukan dengan pria tampan berjas dan berdasi hitam itu. Merasakan wangi Blue Seduction Antonio Banderas berpadu dengan wangi parfumnya sendiri.
"Calvin, you know I love you." bisiknya.
"I see." Bibir Calvin bergerak perlahan, membentuk dua kata itu.