Mendung menepi di wajah Dokter Rustian. Calvin terenyak. Teringat apa yang pernah diceritakan Nanda.
"Masih terasa penyesalan karena tak bisa menyelamatkan nyawanya. Saya harap, hal itu tak terjadi lagi. Kamu seperti istri saya, Calvin. Kuat dan tegar."
Nada suara Dokter Rustian sedikit bergetar. Mendung di hatinya disusul gerimis di kedua matanya.
Refleks Calvin memalingkan pandang. Tak tega melihat ayah keduanya menangis. Tidak, ia tak bisa melihat itu. Ia harus mengalihkan perhatian sang dokter dari kesedihan.
"Dokter, saya ingin main piano." pinta Calvin lirih.
Pelan-pelan Dokter Rustian menuntunnya bangun. Memapahnya ke kursi yang berhadapan dengan grand piano di ujung ruangan. Dokter Rustian menarik kursi, lalu mendudukinya. Menunggu Calvin bermain piano. Sesaat ia menunggu, tapi pria tampan berwajah oriental itu belum juga memainkan instrumen musik di depannya.
"Dokter, maaf...boleh saya minta satu hal lagi?"
"Tentu saja, Nak."
"Tolong e-mailkan rekaman buku yang saya bacakan untuk Silvi. Ada di tab saya."
Sejurus kemudian Dokter Rustian mengambilkan tab dan mengirimkan e-mail berisi rekaman buku pada Silvi. Hatinya dipenuhi rasa kagum. Dalam keadaan sakit, Calvin selalu memikirkan orang lain. Dia pun membacakan buku dan merekamnya untuk Silvi dalam kondisi sakit.
"Terima kasih..." ujar Calvin. Menatap Dokter Rustian penuh terima kasih dan penuh cinta.