Sedetik kemudian, Calvin muntah darah. Sudah diduga. Tetap saja terasa pedih melihatnya.
Membersihkan sisa darah dan membereskan sedikit kekacauan yang terjadi, ayah kandung Nanda itu menyadari tatapan mata Calvin. Mata sipit bening itu seakan hendak bicara. Seolah ingin mengeluarkan kata-kata.
"Mengapa Dokter begitu baik pada saya?" tanya Calvin di sela helaan nafasnya.
"Kamu pasien saya yang paling istimewa. Saya menyayangi kamu. Kamu sudah saya anggap seperti anak sendiri." jawab Dokter Rustian tulus.
"Apa karena Nanda mencintai saya?" Calvin bertanya lagi.
"Saya sangat mencintai putri saya. Nanda harta milik saya satu-satunya. Siapa pun yang dicintai Nanda, saya akan mencintainya pula."
Hening sesaat. Calvin merasakan tenggorokannya sakit. Bukan lantaran efek metastasis sel-sel kanker itu, melainkan tercekat rasa sedih dan bersalah.
"Maaf, saya tidak bisa mencintai putri Anda. Saya hanya bisa menyayanginya sebagai sahabat."
"Tidak apa-apa. Cinta tidak bisa dipaksakan. Cinta adalah pilihan."
Disadarinya, Dokter Rustian begitu baik. Mengobatinya semaksimal mungkin. Menjaganya, menemaninya, merawatnya, membantunya saat ia muntah dan kesakitan. Seharusnya hal-hal itu bisa diserahkan pada perawat. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
"Saya sudah janji pada Nanda, akan mengobatimu semampu saya. Calvin, penyakit yang kamu derita sama seperti yang diderita almarhumah istri saya."