Calvin terjatuh dari tempat tidur. Ini hanya mimpi buruk, sungguh hanya mimpi buruk. Bukan kenangan lama yang terulang lagi.
Pintu paviliun rumah sakit berdebam membuka. Terdengar teriakan dua orang gadis. Mereka berlari-lari mendekat. Bel dibunyikan. Tim dokter berdatangan.
Calvin merasakan tubuhnya diangkat. Dibaringkan lagi di ranjang. Selang oksigen dan peralatan lainnya dipasangkan. Wajah-wajah cemas menyeruak. Tangisan tertahan sesekali terdengar.
"Kak...Kak Calvin baik-baik saja?" tanya Syifa lirih, matanya berkaca-kaca.
"Calvin, apa kamu mimpi buruk lagi? Kenangan apa lagi yang kauingat?" Silvi mulai khawatir.
Tidak, ia sama sekali tidak menyukainya. Dua gadis yang menempati ruang spesial di hatinya menangis karena dirinya. Tugasnya untuk membahagiakan mereka. Tetapi, ia malah membuat mereka sering meneteskan air mata.
"Tidak...tidak apa-apa." jawab Calvin, berusaha menenangkan Silvi dan Syifa.
"Aku memahami dirimu, Calvin. Tiap kali kamu sakit, kamu selalu mimpi buruk. Mengingat kenangan-kenangan lama yang kurang menyenangkan. Ayolah, ceritakan padaku. Bercerita akan membuat perasaanmu lega." bujuk Silvi.
Mendengar itu, Syifa menutup wajah. "Masya Allah...laa illaha ilallah, adik macam apa aku ini? Aku saja tidak tahu Kak Calvin ternyata seperti itu. Ada apa? Kenangan apa lagi yang Kakak ingat?"
Enggan bercerita, Calvin bungkam. Tak ingin membuat Silvi dan Syifa bertambah sedih.
Smartphonenya berdering. Telepon dari kantor. Malam-malam begini? Namun Calvin tetap mengangkatnya. Beberapa menit bicara dengan si penelepon, wajah Calvin tetap tenang. Meski terlihat riak kecil kegelisahan di matanya.