Rasa berat menggelayuti hatinya. Hari ini, ternyata jadwalnya padat. Mengisi acara talkshow motivasi di sebuah stasiun televisi lokal, lalu shooting video clip bersama sejumlah model senior lainnya. Semua ini tak mengapa, andai saja kondisinya lebih mudah.
Silvi melipat kertas-kertasnya. Belum lagi kertas-kertas pembawa berita tak menyenangkan di tangannya. Kumpulan surat pengaduan dari beberapa pelanggan butik. Ah, bukan hari yang baik.
Jarum jam berputar tepat di angka satu. Silvi tak punya banyak waktu lagi. Buru-buru ia mengeringkan rambutnya. Mengenakan wrap dress bermodel tube top berwarna merah darah, lalu berjalan pelan menuju kamar seseorang. Kamar pria yang dicintainya. Pria yang kini sedang sakit, pria tampan yang terpaksa harus ia tinggalkan untuk sementara.
Pintu berderit pelan. Silvi mendesah pasrah, menyesali ketidakhati-hatiannya. Terlihat pria berwajah oriental dan bermata sipit itu duduk membelakanginya. Jemari tangan si pria menari lincah di atas keyboard. Sepertinya tengah serius mengetikkan sesuatu. Beberapa tablet obat bertebaran di meja, belum tersentuh. Gelas besar berisi air putih bernasib sama. Silvi memandangnya masygul. Pasti lupa lagi.
"Calvin...Calvin Sayang." Silvi memanggil lembut nama pria belahan hatinya.
Refleks Calvin berbalik, tersenyum menatap istri cantiknya. Bangkit dari kursi, lalu memeluk pinggang sang istri mesra.
"Hei...sorry, aku keasyikan menulis artikel. Sudah mau berangkat ya?" sapa Ccalvin hangat.
"Obatnya diminum dulu, Calvin." kata Silvi tanpa menghiraukan ucapan Calvin sebelumnya.
"Oh iya...maaf. Aku..."
"Lupa? Jangan melupakan soal obat. Kasihan ginjalmu."
Calvin terhenyak. Jemu dengan peeringatan soal kondisi ginjalnya yang terus memburuk. Ginjal sebelah kanannya terasa sakit tadi pagi, namun ia abaikan. Pengalih perhatiannya adalah film, buku, dan artikel di media citizen journalism itu.