"Apa kata dokter?" bisik Calisa, melingkarkan lengannya di leher Calvin.
"Katanya, aku harus hati-hati. Dampak pengobatan ini mulai terasa." sahut Calvin apa adanya.
"I see. Ah, harusnya aku menemanimu. Kenapa kamu selalu melarangku menemanimu ke rumah sakit?" Calisa sedikit memprotes, lembut membimbing tangan suaminya masuk ke dalam rumah.
"Aku tidak ingin membuatmu sedih, Calisa."
"Aku berusaha untuk tidak sedih, Calvin. Ah sudahlah. Kita shalat Maghrib dulu bagaimana? Aku menunggumu agar bisa shalat bersamamu."
Beribadah bersama, satu rutinitas yang selalu dilakukan Calvin dan Calisa hampir setiap hari. Kecuali bila kondisi memaksa mereka untuk beribadah secara terpisah. Padatnya jadwal pekerjaan tak menghalangi mereka untuk konsisten menjalankan perintah agama.
Calvin dan Calisa shalat berjamaah. Bersama saling menguatkan dalam doa dan komunikasi transendental dengan Sang Khalik. Menguatkan pilar cinta mereka dengan keteguhan iman. Iman dapat menguatkan cinta. Cinta mampu menerima kelebihan dan kekurangan. Begitulah cinta yang sesungguh-sungguhnya.
"Well, aku harus kembali ke kantor." kata Calisa usai shalat.
"Ke kantor? Akhir-akhir ini kamu sering lembur ya? Ada project barukah?" tanya Calvin ingin tahu.
"Iya. Makanya kantorku sedang sibuk-sibuknya. Project besar dengan klien hebat. Is it ok?"
Tak ada yang bisa dilakukan Calvin selain memberikan izin. Mengalah, walau ada sebersit kecewa di dasar hati. Ia pikir, Calisa akan menemaninya. Dirinya saja sudah mengurangi kesibukan di kantor, tapi Calisa masih saja sibuk dengan pekerjaannya. Sebuah kekecewaan yang wajar.