"Kamu masih marah denganku?" tanya Calvin, seolah bisa membaca pikirannya.
Silvi tergeragap. Menggigit bagian dalam pipinya. Calvin membungkuk, mendekatkan wajahnya ke wajah Silvi. "Tidak apa-apa. Katakan saja. Kamu terlihat gelisah, tak bergairah, dan marah padaku. Aku memang salah. Tidak apa-apa, Silvi. Sungguh...tidak apa-apa."
"Calvin, maaf. Seharusnya akulah yang menghiburmu. Aku tahu, kamu masih terpukul gegara kasus nikah siri yang dilakukan Papa Halim." Silvi meminta maaf.
"Sudahlah, santai saja. Ini belum apa-apa dibandingkan dengan apa yang kamu alami selama ini. Bagaimana Mama-Papamu?"
"Mereka? Yah...begitulah. Papaku melakukan kesalahan yang sama berulang kali. Membuatku muak. Tapi aku tak ingin memikirkannya."
Ya, Silvi sudah berhenti memikirkannya. Keluarga Silvi tak lebih baik dari keluarga Calvin. Keadaan mereka hampir sama. Kini yang ada di pikirannya hanyalah perasaan hambar dan hampa itu. Hambar yang berpadu dengan rasa kecewa mendalam pada Calvin. Calvin yang tertutup, misterius, sulit ditebak, suka berahasia, dan lone wulf.Â
Mengapa perasaannya sehampa ini? Jika dekat serasa hambar, jika jauh terasa rindu. Silvi pun bingung dengan perasaannya sendiri. Mengambil jarak dengan Calvin dan sengaja tidak berkomunikasi dengannya malah membuat hatinya diserang virus rindu tingkat akut. Akan tetapi bila telah dekat dan menjalin komunikasi, batinnya malah dirasuki perasaan hambar, hampa, bercampur kecewa. Meski hatinya diliputi kesuraman dan kehampaan, rasa cinta Silvi untuk Calvin tak luntur. Silvi masih mencintai Calvin.
Para pemeran pembantu berdatangan. Mereka mengenakan gaun-gaun mewah dan riasan make up natural. Seorang pria berjas hitam mewah yang akan berperan sebagai wali dari mempelai wanita telah tiba. Refleks Calvin melepaskan pelukannya. Menuntun Silvi kembali ke karpet merah.
"Sudah hampir mulai, Love."
Silvi mengangguk kaku. Berdiri membeku saat Calvin meninggalkannya.
"Camera rolling...action."