"Ya sudah, itu pilihan. Sebagai sepupumu, aku hanya bisa mendukung dan membantu. Keputusan tetap di tanganmu."
"Trims Clara. Btw, kamu sendiri bagaimana? Baik-baik saja dengan Adica, kan? Katanya, kakaknya Adica jadi klien kamu ya? Hebat kamu, Clara. Bergaul sama orang-orang top dan kelas atas terus. Bukannya kakaknya Adica itu mantan penyanyi cilik? Sekarang setelah dewasa, dia jadi pengusaha dan blogger. Siapa namanya? Kevin...Delvin..."
"Calvin Wan."
"Nah itu dia. Cieee...sampai ingat nama panjangnya. Kamu suka, ya?"
Mendengar itu, Clara terdiam. Ya, ia selalu ingat nama Calvin. Bahkan tak bisa melupakannya. Empati Clara begitu dalam. Tak pernah ia menyimpan perasaan empati sebesar ini pada kliennya.
Semestinya, mudah saja bagi Clara untuk menghapus sosok Calvin dari benaknya. Namun ia tak bisa. Justru Calvin selalu ada di pikirannya. Ia berempati, tak bisa melihat Calvin menanggung kesedihan dan beban psikologisnya. Ini bukan Clara yang biasanya. Mengapa Clara menjadi selembut dan semelankolis itu tiap kali mengingat Calvin Wan? Ada apa dengan Clara?
** Â Â Â Â
Dengan hati-hati Clara membuka pintu mobilnya. Mengambil beberapa barang dari tempat duduk belakang. Sekotak coklat, dua paperbag berisi baju, seikat sayuran, dan sekeranjang wortel. Sejurus kemudian dilangkahkannya kaki memasuki rumah. Begitu tiba di depan tangga, ia berseru memanggil seseorang.
"Silvi Sayang...turun dong. Sini, Princess."
Beberapa saat kemudian, seorang gadis bermata biru turun dari lantai atas. Melangkah menghampiri Clara, raut wajahnya penuh tanda tanya.
"Coba aku bawa apa? Taraaa...ini coklat buat kamu! Dan ini? Baju-baju buat pesta pernikahannya Intan. Bagus kan?" Clara tersenyum lebar, memperlihatkan barang-barang bawaannya.