Calvin kehilangan setengah kesadarannya akibat rasa sakit. Ia masih bisa melihat raut wajah Adica dan Tuan Rio yang diliputi kepanikan, air mata Nyonya Lola, tangisan Goldy, dan embun bening di mata Syifa. Mereka semua mengkhawatirkannya, bersedih karenanya. Beban penyesalan itu semakin berat.
** Â Â Â
Paviliun mewah di rumah sakit berkelas internasional. Lagi-lagi, perasaan eksklusif dan terisolasi itu menyeruak. Calvin membenci paviliun ini. Tak bisakah ia memilih ruangan lain saja?
"Daddy harus sembuh..." isak Goldy, memegang erat tangan kirinya.
"Iya, Sayang." lirih Calvin, sekuat mungkin menggenggam tangan mungil putranya.
Tubuh Goldy sedikit gemetar. Syifa dan Adica bergantian memeluknya. Nyonya Lola dan Tuan Rio masih menemui dokter spesialis Onkologi. Berkonsultasi, berdiskusi, mempertimbangkan langkah selanjutnya. Calvin sebenarnya sudah tak peduli lagi dengan kesembuhan. Yang dikhawatirkannya justru Goldy.
"Goldy mau jagain Daddy di sini." ujar si anak lima tahun tampan nan cerdas itu.
"Jangan, Sayang. Goldy harus pulang ke rumah. Harus belajar dan istirahat." cegah Calvin halus.
Goldy menggelengkan kepalanya. Satu tangannya mengangkat tas berisi notebook dan buku-buku pelajaran. Dalam tas itu, terdapat pula kantong tidur.
"Goldy bisa belajar di sini, bisa tidur di sini sama Daddy. Nggak masalah."
Tiga pasang mata menatap Goldy keheranan. Anak cerdas. Masih kecil, tapi pemikirannya sistematis. Ia selangkah lebih maju.