Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Side Story] Haruskah Takut Pada Cinta?

11 Oktober 2017   06:20 Diperbarui: 11 Oktober 2017   08:22 1006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dimanakah Albert kini? Sudahkah ia menyelesaikan tesisnya? Kapankah ia akan menerima sakramen imamat? Pernah terpikir oleh Julia untuk menunggu dan terus menunggu. Mungkin ia harus menunggu hingga Albert selesai dari tugasnya sebagai rohaniwan. Lalu ia bisa kembali bersama pria tampan berdarah Jawa-Jerman-Skotlandia itu. Tapi itu bisa berpuluh-puluh tahun lagi. Menunggu puluhan tahun? Rasanya tidak masalah. Selama Julia masih punya umur, ia mau menunggu. Apa salahnya menunggu?

Tidak menikah adalah pilihan berikutnya. Ya, Julia ingin sekali hidup tanpa menikah. Seperti Landon Carter yang tidak menikah lagi setelah Jamie Sullivan meninggal. Itu akan lebih indah dan romantis. Sebuah kerelaan dan solidaritas cinta yang mendalam.

Julia cinta, benar-benar mencinta. Bolehkah ia menunggu Albert saja? Atau tetap hidup sendiri sambil memberikan hatinya hanya untuk Albert? Hidup sendiri tapi tetap mencintai masa lalu rasanya lebih mudah dari pada harus menjalani relasi tanpa cinta dengan orang lain.

Masih jelas dalam ingatan Julia betapa nyamannya pelukan Albert setahun lalu. Betapa dekat jarak mereka, Julia dapat menikmati ketampanan Albert dari dekat. Mengagumi kesempurnaan wajahnya. Perpaduan wajah Kaukasia yang sungguh-sungguh menawan.

Air mata ia biarkan mengalir. Bolehkah ia mengenang Albert tepat setahun saat mereka berpelukan dilatarbelakangi derasnya hujan? Kelak Julia ingin kembali ke Coklat Klasik Cafe, tempat kenangan mereka. Ia ingin duduk di meja yang sama, memesan menu yang sama, lalu menikmati nostalgianya. Sayangnya, hingga kini Julia belum punya waktu untuk ke sana lagi. Jadwalnya cukup padat.

"Albert...I love you. Ich liebe dich. Anna uhibbuka fillah. Je t'aime. Aku tidak benar-benar melupakanmu, Sayang. Aku ingin memelukmu lagi...sebentar saja. Kau pria pertama di luar keluarga yang memelukku. Dan aku ingin kau jadi satu-satunya yang kelak memelukku sebagai pendamping hidupku. Entah mungkin saat kita sudah tak lagi muda, dan saat kau terlepas dari hutang budi itu."

Julia masih hafal bagaimana rasanya pelukan Albert. Sepanjang hidup, ia takkan melupakannya. Hanya satu hal yang ia sayangkan: sebelum benar-benar berpisah, Albert sering menyembunyikan banyak hal darinya. Hanya itu yang disesalinya. Selebihnya, Albert tampan luar biasa dan sangat sempurna di mata Julia.

Reminder di ponselnya berbunyi. Setengah jam lagi ia harus pergi. Calvin, sahabatnya, tengah menunggunya di rumah sakit. Belum lepas dari masa kritis setelah mengalami cedera tulang dan infeksi paru-paru setelah terjatuh dari tangga pesawat.

Julia mencemaskan keadaannya. Lebih karena ia menyayangi Calvin. Menyayangi sebatas sahabat, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang. Dirinya mengingatkan, Calvin bukanlah Albert. Sampai kapan pun, Calvin Wan takkan bisa menggantikan Arif Albert.

Albert lebih segala-galanya dibanding Calvin. Sudah jadi sifat bawaan Julia untuk membandingkan pria-pria yang pernah singgah di hatinya. Albert jelas lebih tampan. Darah Indo yang mengalir di tubuhnya menjadikan ia pria yang menawan. Perasaannya pun lebih halus dari Calvin. Hatinya lembut, sifatnya penyabar, dan ia selalu menjaga perasaan orang lain. Tak seperti Calvin, Albert bukanlah orang yang to the point. Sangat berhati-hati dalam bicara agar perasaan orang lain tidak tersakiti. Sepanjang ingatan Julia, Albert sangat baik. Ia tak segan meminta maaf lebih dulu meski dirinya tidak salah. Sedikit berbeda dengan Calvin. Orang baik takkan segan mengucapkan tiga kata ini: maaf, terima kasih, dan tolong.

Kelebihan Calvin yang tidak dimiliki Albert hanyalah waktu dan materi. Memang terkesan tidak adil, namun begitulah kenyataannya. Calvin jauh lebih kaya dan punya banyak waktu. Sementara Albert tidak memiliki waktu dan secara finansial tidak ada apa-apanya dengan Calvin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun