Hanya menjalani kegiatan akademis tak cukup. Gadis secantik dan seperfeksionis Calisa Amandira selalu ingin mencoba sesuatu yang baru. Menulis, menyanyi, modeling, dan bermain musik adalah beberapa di antaranya. Ia melakukan banyak hal dan mengembangkan hobi bukan karena uang. Bila pun ia memperoleh pendapatan dari aktivitas-aktivitasnya, itu hanyalah bonus. Bukan tujuan utama. Bonus itu pun lebih sering disumbangkan dari pada dimasukkan ke rekening pribadinya. Ada hak orang lain dalam sebagian kelebihan materi yang didapatnya.
Seperti sore ini. Selesai kuliah dan pemotretan, ia bergegas menuju ruang latihan choir. Inilah yang disukainya. Bernyanyi dapat menjadi media katarsisnya.
Langkah Calisa terhenti di depan lift. Sesaat ia melihat ke kanan-kiri. Koridor itu kosong. Kemungkinan besar ia akan naik lift sendirian. Calisa sudah terbiasa sendirian saat naik lift.
Usut punya usut, lift di gedung fakultasnya dikenal horor. Banyak kisah horor yang beredar. Namun sedikit yang benar-benar bisa merasakan kehadiran makhluk halus di dalamnya. Calisa satu dari sedikit orang itu.
Dianugerahi penglihatan khusus membuat Calisa merasa senang bercampur waswas. Senang lantaran ia bisa melihat seperti apa makhluk-makhluk halus itu. Waswas sebab tak semua yang dilihatnya itu baik. Banyak pula yang jahat dan negatif. Ada dimensi lain di luar kehidupan manusia, dan Calisa menyadari itu. Suka atau tidak, manusia hidup berdampingan dengan makhluk halus walau ada yang menyadari kehadirannya dan ada pula yang tidak menyadarinya.
Ting
Pintu lift terbuka. Pelan-pelan Calisa melangkah masuk. Selangkah saja memasuki lift, ia telah diperlihatkan sosok-sosok transparan itu. Energi positif dan negatif menyatu di ruang sempit itu, Calisa dapat melihat, merasakan, dan mendengar kehadiran mereka.
Tangan gadis berdarah Melayu itu bergetar saat menekan tombol lift. Pintu lift menutup, kini ia benar-benar sendirian dan terpisah untuk sementara dari jangkauan para pengguna gedung di luar sana. Calisa berusaha berpikiran positif. Menganggapnya sebagai karunia. Bukankah tidak semua orang memilikinya?
Meski demikian, ia tak suka sendirian. Andai saja ada yang menemaninya. Calisa kesepian. Dicobanya menikmati kesepian yang melingkupinya. Terkadang dia menikmati, terkadang pula ia ingin keluar dari zona kesepian itu.
** Â Â
"Calvin!"
Tetap bergerak lincah dengan high heels setinggi dua belas senti yang dikenakannya, Calisa berlari dengan wajah memucat. Ia melempar diri ke pelukan Calvin, Â sahabat masa kecilnya. Membiarkan beban ketakutannya terangkat ketika Calvin membalas pelukannya.
"Kenapa lagi, Calisa?" Calvin bertanya penuh perhatian. Mengelus rambut Calisa. Seperti memperlakukan anak kecil saja.
"Aku takut naik lift sendirian..." Calisa berkata putus asa.
"Lihat makhluk halus ya? Lain kali, telepon aku. Jadi aku bisa menemanimu." Calvin menanggapi dengan lembut.
"Oh...harusnya aku lakukan itu. Thanks buat perhatiannya, my lovely brother."
"You're wellcome, my lovely sister."
Siapa sangka Calvin Wan dan Calisa Amandira begitu dekat? Sifat mereka sangat kontras. Calvin dengan paras tipikal oriental, sifat to the point, pemikiran kritis, dan anti melankolis bersahabat dengan Calisa yang berwajah cantik khas Melayu, berpembawaan lembut, manja, romantis, dan melankolis. Meski kepribadian mereka bertolak belakang, mereka mempunyai passion yang sama. Perbedaan karakter justru membuat mereka saling melengkapi.
"Kita ke ruang piano sebentar ya? Aku punya lagu yang akan membuatmu tenang." ajak Calvin.
"Tapi sebentar lagi latihan." Calisa melirik jam tangannya.
"Tidak apa-apa. Ayo."
Mana mungkin Calisa menolak. Seharusnya Calvin tak perlu repot-repot melakukannya. Berada di dekat Calvin saja sudah membuat Calisa tenang.
Calvin membuktikan ucapannya. Sebuah lagu ia bawakan. Sukses membuat perasaan Calisa makin tenang.
"Tiada tangis sendu...hanya bahagia selamanya." Dengarlah, bahkan Calisa ikut bernyanyi.
"Jatuh hati padamu...hanyalah padamu." Calvin melanjutkan. Tetap berkonsentrasi dengan pianonya. Lalu, keduanya menyanyikan refrein berikutnya bersama.
"Semua yang kurasakan kini kan kuungkapkan, meski cinta tak selamanya indah. Ku kan selalu ada untukmu..."
Keduanya bertatapan. Hati mereka berebut bicara. Jauh lebih akurat dari lirik-lirik lagu yang mereka nyanyikan. Ada Untukmu dari Calvin Jeremy seakan menjadi penguat pernyataan yang ingin mereka sampaikan.
Ketenangan menghangati hati Calisa. Kedua kalinya, Calvin dan Calisa berpelukan. Menyalurkan rasa yang tersembunyi secara non-verbal.
"Tenanglah, Calisa. Anggap itu sebagai karunia." kata Calvin lembut.
"Sudah kuanggap begitu."
"Good, my little sister."
Refleks pelukan Calisa terlepas. Ia tersenyum simpul, mulai menyadari sesuatu. Calisa Amandira gadis yang perfeksionis. Ia akan memperhatikan apa pun sampai detail terkecil. Tak sadarkah Calvin bila dirinya baru saja salah sebut panggilan sayang?
** Â Â
Paris van Java, 11 September 2017
Terinspirasi dari kejadian kecil salah sebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H