Tetap bergerak lincah dengan high heels setinggi dua belas senti yang dikenakannya, Calisa berlari dengan wajah memucat. Ia melempar diri ke pelukan Calvin, Â sahabat masa kecilnya. Membiarkan beban ketakutannya terangkat ketika Calvin membalas pelukannya.
"Kenapa lagi, Calisa?" Calvin bertanya penuh perhatian. Mengelus rambut Calisa. Seperti memperlakukan anak kecil saja.
"Aku takut naik lift sendirian..." Calisa berkata putus asa.
"Lihat makhluk halus ya? Lain kali, telepon aku. Jadi aku bisa menemanimu." Calvin menanggapi dengan lembut.
"Oh...harusnya aku lakukan itu. Thanks buat perhatiannya, my lovely brother."
"You're wellcome, my lovely sister."
Siapa sangka Calvin Wan dan Calisa Amandira begitu dekat? Sifat mereka sangat kontras. Calvin dengan paras tipikal oriental, sifat to the point, pemikiran kritis, dan anti melankolis bersahabat dengan Calisa yang berwajah cantik khas Melayu, berpembawaan lembut, manja, romantis, dan melankolis. Meski kepribadian mereka bertolak belakang, mereka mempunyai passion yang sama. Perbedaan karakter justru membuat mereka saling melengkapi.
"Kita ke ruang piano sebentar ya? Aku punya lagu yang akan membuatmu tenang." ajak Calvin.
"Tapi sebentar lagi latihan." Calisa melirik jam tangannya.
"Tidak apa-apa. Ayo."
Mana mungkin Calisa menolak. Seharusnya Calvin tak perlu repot-repot melakukannya. Berada di dekat Calvin saja sudah membuat Calisa tenang.