Intuisi Luna mengatakan jika itu bukan alasan sebenarnya. Calvin sangat tertutup. Bisa saja ia menyembunyikan alasan lain.
"Adakah wanita lain...?" Luna bertanya lagi, meremas surat perceraian itu kuat-kuat.
Sungguh, ia takut dengan jawabannya. Benarkah nasihat Erika waktu itu? Apakah Calvin Wan yang dikenalnya selama ini tidak sesempurna yang dikiranya?
"Iya, Luna." Akhirnya Calvin mengiyakan. Lagi-lagi tanpa memandang mata Luna.
"Siapa wanita itu?! Siapa?! Beraninya wanita itu merusak semuanya!" teriak Luna, sedih bercampur marah.
"Suatu saat nanti kamu akan tahu."
Air mata membanjiri pelupuk mata Luna. Ia terisak, satu tangannya mencengkeram erat surat perceraian itu. Surat pembawa petaka.
Cukup lama Luna terlarut dalam tangis kesedihan. Ia tak bisa terima semua ini. Setelah bertahun-tahun menikah, akhirnya vonis perceraian jatuh. Istana cinta yang dibangunnya bersama Calvin runtuh tak bersisa.
Pengorbanan Luna selama ini sia-sia. Niat tulusnya untuk menjadi istri yang baik tak ada gunanya. Luna kecewa, sungguh-sungguh kecewa. Image Calvin Wan yang perfect luntur sudah.
Sementara itu, Calvin memalingkan wajah. Tak sedikit pun ia mencoba meredakan kesedihan wanitanya. Bukannya ia tak mau, bukannya ia tak peduli. Suatu perasaan lain menahannya. Calvin telah bertekad menceraikan Luna.
"Luna, kita harus bercerai. Kamu boleh tinggal di sini. Rumah ini sudah jadi milikmu. Begitu juga mobil, perhiasan, dan villa. Empat puluh persen keuntungan perusahaan keluarga adalah hakmu. Aku akan memakai rumah dan mobil yang satunya." Calvin menjelaskan dengan lembut.