Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebaikan Hati Disalahgunakan, Bagaimana Mengatasinya?

18 Mei 2017   05:01 Diperbarui: 18 Mei 2017   06:22 1826
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sekitar pukul setengah tujuh malam, seorang wanita bersama anak perempuannya bertamu ke rumah. Kebetulan saya dan kedua orang tua sedang bersantai sejenak setelah shalat Maghrib. Kami bertiga mempersilakan mereka masuk.

Si wanita berbincang akrab dengan Mama saya. Saya duduk di antara Mama dan Papa, hanya mendengarkan dan menatap wanita itu tanpa senyum. Bahkan tanpa kedip. Saya amati baik-baik penampilan, pakaian, gesture, dan ekspresinya. Bukan bermaksud jahat, saya hanya ingin menilai dan mencoba membaca isi hatinya. Celakanya, sering kali orang keliru menerjemahkan sikap dan ekspresi saya. Gegara ini, saya sering dianggap sombong. Padahal saya sama sekali tidak bermaksud begitu.

Lama-kelamaan, saya perhatikan wanita itu sering kali memuji rumah dan keluarga saya. Pujian yang berlebihan menurut saya. Wanita itu mengatakan kalau rumah kami bagus, dan kami termasuk keluarga yang berpunya. Ia mengenang, tiap Lebaran saat keluarga kami membuka pintu rumah dan orang-orang berdatangan ke rumah kami untuk bersilaturahmi setelah shalat Ied, ia selalu senang. Sebab di rumah kami tersedia makanan lezat. Saya sampai merinding mendengarnya. Pujian yang sangat berlebihan. Timbul pertanyaan di hati saya. Mau apa wanita ini sebenarnya? Mengapa tidak to the point saja?

Selesai memuji, dia teruskan dengan curahan hati. Dia bercerita pada Mama kalau selama ini ia minder bergaul dengan orang-orang di kompleks perumahan. Alasannya klise: karena status sosial dan ekonomi. Mama hanya mendengarkan dengan sabar. Sesekali tersenyum dan tertawa.

Akhirnya terungkap tujuan yang sebenarnya. Ia datang ke rumah untuk menawarkan makanan yang dijualnya. Wanita itu berjualan makanan untuk mencukupi biaya hidup. Lewat ceritanya, tahulah saya jika ia hanya menawarkan produk makanannya pada orang-orang tertentu saja. Maksudnya, pada orang-orang yang dianggapnya berpenghasilan lebih. Saya mulai menangkap sifat oportunis dalam dirinya. Ia dekati orang-orang yang dianggapnya berpunya demi kepentingannya sendiri. Ia manfaatkan kemurahan hati Mama dan orang-orang lain yang ia dekati untuk memuluskan tujuannya.

Saya tahu persis Mama saya luar-dalam. Mana mungkin Mama menolak? Begitu Mama bersedia membeli produk makanan dan membayarnya, kembali si wanita memuji-muji keluarga kami. Rasanya keluarga kami biasa-biasa saja, terlihat sekali si wanita ingin menyenangkan hati Mama.

Sepulang wanita penjual makanan itu, saya merajuk pada Mama. Memeluk manja lengannya, menyentuh rambutnya, sambil mengatakan kalau Mama bisa saja menolak membeli makanan itu. Sudah cukup sering Mama menerima tamu yang bertingkah seperti wanita itu. Bermanis-manis, memanfaatkan kemurahan hati Mama, ujungnya meminta Mama membeli barang yang mereka jual karena mereka butuh uang. Mengapa harus Mama, bukan Papa? Mereka tahu, Papa saya tipe orang yang dingin, antisosial, dan sulit didekati. Amat berbeda dengan Mama. So, sasaran empuk mereka adalah Mama.

Mama menghibur saya. Menyuruh saya untuk mengambil sisi positifnya. Artinya keluarga kita dianggap mampu dan derajatnya jauh di atas mereka, begitu kata Mama, Orang-orang kecil seperti mereka hanya akan meminta bantuan pada keluarga yang menurut mereka mampu dan punya reputasi bagus, lanjut Mama lagi. Dalam hati saya membenarkan ucapannya. Syukurlah kalau keluarga kami bisa menolong orang lain.

Menjelang tidur, sambil memeluk boneka baru dan foto seseorang yang saya cintai, saya merenungi kejadian tadi. Orang menemui Mama, melihat Mama begitu baik, dan memanfaatkannya demi keuntungan pribadi mereka. Saya pun sering mengalami itu. Tak terhitung teman saya yang datang mendekati saya bila mereka membutuhkan sesuatu. Setelahnya, mereka akan menjauh dan tidak peduli. Awalnya saya senang-senang saja bisa membantu orang lain. Perlahan tapi pasti, saya tersadar bila saya hanya dimanfaatkan orang lain. Tidak ada yang benar-benar menyayangi dan menerima diri saya tanpa syarat.

Tahun lalu saya ditipu seseorang. Saya juga pernah dihina dan direndahkan. Baru-baru ini, seorang teman mengeluarkan saya dari tim setelah saya membantu tim itu mengerjakan tugas mereka. Begitu project selesai, saya langsung didepak dari tim itu. Alhasil, saya harus mengulang project itu dari awal. Saya melakukannya sendirian, tanpa bantuan siapa pun.

Bila sudah begitu, saya hanya bisa pasrah. Saya hanya diam atau mengungkapkannya dalam tulisan. Meski terbersit niat dalam hati untuk memarahi, menegur, menyakiti, bahkan menghancurkan orang-orang yang telah melukai saya. Semua niat buruk itu saya singkirkan. Saya lebih memilih mendoakan mereka agar diberi petunjuk dan ampunan oleh Tuhan.

Kembali soal Mama saya. Apakah orang-orang yang meminta bantuan akan datang juga saat Mama terkena masalah? Apakah mereka seperti teman-teman saya yang hanya akan datang bila memerlukan sesuatu? Kasihan sekali Mama saya bila itu terjadi.

Kisah di atas membangkitkan pertanyaan reflektif di hati saya: bagaimana agar kebaikan kita tidak disalahgunakan? Berbuat baik pada orang lain sangat dianjurkan. Namun kebaikan yang berlebihan bisa mengundang pihak-pihak licik dan tak bertanggung jawab untuk memanfaatkannya.

Bahagia rasanya saat kita dapat membantu orang lain. Tapi, bagaimana perasaan kita saat diri kita hanya dimanfaatkan orang lain? Menyakitkan, bukan?

Orang baik bukan untuk dimanfaatkan. Melainkan untuk diteladani kebaikannya. Hubungan apa pun, khususnya hubungan pertemanan, takkan sehat bila salah satu pihak hanya memanfaatkan pihak lainnya. Jadi orang baik harus, tapi jadi orang baik yang selektif wajib. Jagalah diri kita dari orang-orang yang menyalahgunakan kebaikan hati kita.

Ada beberapa langkah untuk mengatasi situasi berat sebelah ini.

  1. Bersikap tegas. Sering kali kita sulit bersikap tegas pada orang lain. Sikap terlalu lembut inilah yang membuat orang lain mudah memanfaatkan kita. Dalam pandangan mereka, kita adalah orang yang mudah dimanfaatkan tanpa perlu ditakuti. Mulai sekarang, cobalah bersikap tegas. Gunanya untuk menciptakan rasa segan dan takut di hati orang yang sering menyalahgunakan kebaikan hati kita. So, dia perlu berpikir ratusan kali sebelum memanfaatkan kita lagi.
  2. Lakukan tes. Jangan lakukan ini buru-buru. Pelan-pelan saja, biar waktu dan tes kita yang mengungkap sisi lain dia yang sebenarnya. Dengan melakukan tes itu, sifat asli seseorang dapat terbongkar. Kita akan tahu apa motif sebenarnya dia berhubungan dengan kita. Usahakan dia tidak tahu kalau kita sedang mengetesnya. Buatlah situasi seolah tidak terjadi apa-apa. Bila dia tahu kita sedang mengetesnya, dia akan merasa tidak aman. Bahkan melakukan kepura-puraan dan bersikap munafik agar mendapat nilai plus di mata kita.
  3. Evaluasi. Setelah melakukan tes, kita tahu poin-poin baik dan buruk dalam dirinya. Saat itulah kita lakukan evaluasi. Jelaskan padanya pelan-pelan. Jangan buat dia tersinggung. Berilah penilaian secara adil. Evaluasi itu akan membuat dia menyadari kesalahannya.
  4. Bicarakan dari hati ke hati. Nah, ini kunci utamanya. Tes dan evaluasi sudah dilakukan. Kemudian, ajaklah dia bicara dari hati ke hati. Tanyakan alasannya sering menyalahgunakan kebaikan kita. Mungkin saja dia terpaksa memanfaatkan kita, atau dalam kondisi terdesak. Dengarkan alasannya, jangan menghakimi atau menyudutkan. Jelaskan padanya prinsip take and give dalam suatu hubungan. Masing-masing pihak harus saling memberi dan menerima. Bukan satu pihak yang terus memberi dan pihak lainnya menerima. Prinsip take and give yang dijalankan dengan baik akan menghasilkan hubungan yang sehat. Berilah dia pengertian sampai dia benar-benar paham konsep keseimbangan dalam suatu hubungan.
  5. Berdoa meminta pertolongan Tuhan. Cobalah perhatikan perubahannya setelah kita ajak bicara. Apakah dia berubah ke arah positif atau justru sebaliknya? Bila dia masih saja menyalahgunakan kebaikan hati kita dan mengulang kesalahan yang sama, berdoalah pada Tuhan. Mintalah pertolongan-Nya untuk menyadarkan dia. Serahkan dia yang bermasalah itu untuk dibimbing dan diberi petunjuk oleh Tuhan.

Kompasianer, siapkah mencegah kebaikan hati kalian disalahgunakan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun