Sekitar pukul setengah tujuh malam, seorang wanita bersama anak perempuannya bertamu ke rumah. Kebetulan saya dan kedua orang tua sedang bersantai sejenak setelah shalat Maghrib. Kami bertiga mempersilakan mereka masuk.
Si wanita berbincang akrab dengan Mama saya. Saya duduk di antara Mama dan Papa, hanya mendengarkan dan menatap wanita itu tanpa senyum. Bahkan tanpa kedip. Saya amati baik-baik penampilan, pakaian, gesture, dan ekspresinya. Bukan bermaksud jahat, saya hanya ingin menilai dan mencoba membaca isi hatinya. Celakanya, sering kali orang keliru menerjemahkan sikap dan ekspresi saya. Gegara ini, saya sering dianggap sombong. Padahal saya sama sekali tidak bermaksud begitu.
Lama-kelamaan, saya perhatikan wanita itu sering kali memuji rumah dan keluarga saya. Pujian yang berlebihan menurut saya. Wanita itu mengatakan kalau rumah kami bagus, dan kami termasuk keluarga yang berpunya. Ia mengenang, tiap Lebaran saat keluarga kami membuka pintu rumah dan orang-orang berdatangan ke rumah kami untuk bersilaturahmi setelah shalat Ied, ia selalu senang. Sebab di rumah kami tersedia makanan lezat. Saya sampai merinding mendengarnya. Pujian yang sangat berlebihan. Timbul pertanyaan di hati saya. Mau apa wanita ini sebenarnya? Mengapa tidak to the point saja?
Selesai memuji, dia teruskan dengan curahan hati. Dia bercerita pada Mama kalau selama ini ia minder bergaul dengan orang-orang di kompleks perumahan. Alasannya klise: karena status sosial dan ekonomi. Mama hanya mendengarkan dengan sabar. Sesekali tersenyum dan tertawa.
Akhirnya terungkap tujuan yang sebenarnya. Ia datang ke rumah untuk menawarkan makanan yang dijualnya. Wanita itu berjualan makanan untuk mencukupi biaya hidup. Lewat ceritanya, tahulah saya jika ia hanya menawarkan produk makanannya pada orang-orang tertentu saja. Maksudnya, pada orang-orang yang dianggapnya berpenghasilan lebih. Saya mulai menangkap sifat oportunis dalam dirinya. Ia dekati orang-orang yang dianggapnya berpunya demi kepentingannya sendiri. Ia manfaatkan kemurahan hati Mama dan orang-orang lain yang ia dekati untuk memuluskan tujuannya.
Saya tahu persis Mama saya luar-dalam. Mana mungkin Mama menolak? Begitu Mama bersedia membeli produk makanan dan membayarnya, kembali si wanita memuji-muji keluarga kami. Rasanya keluarga kami biasa-biasa saja, terlihat sekali si wanita ingin menyenangkan hati Mama.
Sepulang wanita penjual makanan itu, saya merajuk pada Mama. Memeluk manja lengannya, menyentuh rambutnya, sambil mengatakan kalau Mama bisa saja menolak membeli makanan itu. Sudah cukup sering Mama menerima tamu yang bertingkah seperti wanita itu. Bermanis-manis, memanfaatkan kemurahan hati Mama, ujungnya meminta Mama membeli barang yang mereka jual karena mereka butuh uang. Mengapa harus Mama, bukan Papa? Mereka tahu, Papa saya tipe orang yang dingin, antisosial, dan sulit didekati. Amat berbeda dengan Mama. So, sasaran empuk mereka adalah Mama.
Mama menghibur saya. Menyuruh saya untuk mengambil sisi positifnya. Artinya keluarga kita dianggap mampu dan derajatnya jauh di atas mereka, begitu kata Mama, Orang-orang kecil seperti mereka hanya akan meminta bantuan pada keluarga yang menurut mereka mampu dan punya reputasi bagus, lanjut Mama lagi. Dalam hati saya membenarkan ucapannya. Syukurlah kalau keluarga kami bisa menolong orang lain.
Menjelang tidur, sambil memeluk boneka baru dan foto seseorang yang saya cintai, saya merenungi kejadian tadi. Orang menemui Mama, melihat Mama begitu baik, dan memanfaatkannya demi keuntungan pribadi mereka. Saya pun sering mengalami itu. Tak terhitung teman saya yang datang mendekati saya bila mereka membutuhkan sesuatu. Setelahnya, mereka akan menjauh dan tidak peduli. Awalnya saya senang-senang saja bisa membantu orang lain. Perlahan tapi pasti, saya tersadar bila saya hanya dimanfaatkan orang lain. Tidak ada yang benar-benar menyayangi dan menerima diri saya tanpa syarat.
Tahun lalu saya ditipu seseorang. Saya juga pernah dihina dan direndahkan. Baru-baru ini, seorang teman mengeluarkan saya dari tim setelah saya membantu tim itu mengerjakan tugas mereka. Begitu project selesai, saya langsung didepak dari tim itu. Alhasil, saya harus mengulang project itu dari awal. Saya melakukannya sendirian, tanpa bantuan siapa pun.
Bila sudah begitu, saya hanya bisa pasrah. Saya hanya diam atau mengungkapkannya dalam tulisan. Meski terbersit niat dalam hati untuk memarahi, menegur, menyakiti, bahkan menghancurkan orang-orang yang telah melukai saya. Semua niat buruk itu saya singkirkan. Saya lebih memilih mendoakan mereka agar diberi petunjuk dan ampunan oleh Tuhan.