“Karena si kecil sendirian di rumah.” Jawabnya penuh sayang. Membelai rambut putrinya.
Seharusnya Mama tak perlu takut. Dia malah senang ditinggalkan sendirian di rumah. Dia bukan penakut seperti anak-anak lainnya. Terbiasa ditinggalkan sendirian justru membuatnya belajar mandiri.
“Lho, kamu nggak senang Mama kamu ini pulang duluan?” Mamanya sedikit memprotes.
“Senang kok,” si gadis menyahut tanpa memandang Mama.
Hujan turun semakin deras. Disusul sambaran petir beberapa kali. Mama menggandeng tangannya, mengajaknya ke ruang tengah.
“Mau cappucino?” tawarnya lembut.
Ia mengangguk tanpa kata. Dengan senang, Mamanya membuatkan cappucino. Salah satu minuman favoritnya setelah green tea.
Minuman hangat membuat perasaannya lebih baik. Menempelkan gelas ke bibirnya, si gadis teringat sesuatu. Apakah di Seminari tersedia minuman selezat ini? Jika tidak ada, apa saja varian makanan dan minuman yang tersaji untuk para Frater yang tinggal di sana?
“Hei...kebiasaan kamu nggak hilang juga ya? Tubuh kamu ada di sini, tapi pikiran kamu di tempat lain.” Usik Mamanya. Ia tersadar. Bukankah banyak orang seperti itu? Raganya berada di satu tempat, namun jiwanya berada di tempat lain.
**
Mampukah kekasihmu setangguh aku