Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Akankah Kutemukan Belahan Jiwa?

26 Maret 2017   13:50 Diperbarui: 26 Maret 2017   13:58 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langit kelam berselimut awan-awan Cumolonimbus. Gerimis turun mengawali pagi itu. Udara semakin dingin. Kesuraman nyata terlukis di kota apel penghasil pria tampan dan wanita cantik itu.

“Terima kasih kamu mau datang ke sini, Nita.” Albert  menatap wajah Nita tulus. Satu tangannya merapatkan sweater v-neck putihnya.

“Kamu kurus sekali. Bagaimana rasanya keluar dari biara?”

Sesaat Albert  terdiam. Limfoma merampas berat tubuhnya, selera makannya, dan antibodi dalam tubuhnya. Limfoma pulalah yang membuatnya terpaksa cuti untuk sementara waktu.

“Aku tidak keluar, Nita. Aku hanya cuti selama menjalani pengobatan,” jawabnya lembut.

Who care? Toh bulan depan aku akan menikah,” potong Nita cepat.

Detik berikutnya, Albert  terpaku. Aliran darahnya serasa berhenti. Menikah? Nita, gadis yang dicintainya, akan menikah? Itu berarti, Nita akan meninggalkannya. Jauh di dasar hati, sesuatu runtuh perlahan. Torehan demi torehan panjang terbentuk. Makin lama makin dalam, membentuk luka. Pedih, menyakitkan.

“Tapi kenapa, Nita? Kenapa kamu ingin menikah dengan pria lain?”

Nita menghela nafas panjang. Tatapannya terarah lurus ke mata teduh milik pria tampan di depannya. Tak nampak lagi kehangatan dan kelembutan di sana. Tidak, ini bukan Nita yang Albert kenal. Pasti ada yang salah dengan semua ini.

“Aku tidak bisa bersama pria berpenyakit dan lemah sepertimu. Kamu tidak pernah tegas dalam mengambil keputusan. Selalu saja kamu mengulur-ulur waktu. Kamu tidak bisa diharapkan.”

Kata-kata Nita seperti ratusan panah yang menghujam hatinya. Hati yang lembut itu sempurna terkoyak. Tercabik oleh kesedihan dan rasa sakit.

“Albert, hatimu memang lembut. Tapi kelembutan itulah yang membuatmu gagal mengambil keputusan. Apa gunanya hati yang lembut jika tidak bisa bersikap tegas? Kamu membuatku terlalu lama menunggu. Cinta saja tak cukup. Harus ada keberanian untuk memutuskan sesuatu. Kamu membuatku kecewa, Albert. Mulai sekarang, jangan ganggu aku lagi.”

Lebih banyak lagi panah menembus relung hatinya. Rasa dingin yang tak ada hubungannya dengan udara pagi itu menjalari sekujur tubuhnya. Albert  menundukkan wajah, hatinya hancur. Ini semua salahnya. Andai dia memiliki keberanian, perpisahan ini takkan terjadi. Nita akan menjadi pendamping hidupnya, belahan jiwanya. Namun sekarang semuanya terlambat.

“Baiklah, Nita. Semoga kamu bahagia. Aku tidak akan pernah melupakanmu. Dan aku...akan mencintaimu dengan caraku.” Albert berucap lirih.

Nita berbalik ke pintu balkon. Membukanya, lalu berjalan pergi. Albert  bergegas mengikuti. Membukakan pintu kamarnya untuk Nita.

**    

Terlarut aku

Dalam kesendirian

Saat aku menyadari

Tiada lagi dirimu kini

Sampai kapankah

Aku mampu bertahan

Tetapi aku jalani

Semua kisah hidupku ini (Akhir Rasa Ini).

**     

Semuanya telah berakhir. Gadisnya telah pergi. Ia takkan pernah melihatnya lagi. Hati kecilnya berbisik, mengucap selamat tinggal pada cinta pertamanya. Ia berdoa memohon kekuatan pada Tuhan. Memohon kerelaan, keikhlasan, dan ketabahan. Bisakah dirinya seikhlas Bunda Maria yang merelakan kematian Yesus Kristus? Dapatkah ia setegar Ali bin Abi Thalib ketika Fatimah Radhiyallahu Anha dipanggil ke sisi Allah?

“Apa yang kamu lakukan pada kakakku?! Jawab!”

Di luar kamar, terlihat Dewi mencegat Nita. Mencengkeram erat lengannya. Berteriak tepat di depan wajahnya.

“Kamu jahat, Nita! Teganya kamu menyakiti kakakku! Kak Albert sedang sakit! Dia butuh kita semua! Tapi kamu meninggalkannya!” Setelah berkata begitu, Dewi menampar Nita. Menarik rambutnya. Dewi tidak terima kakaknya disakiti.

“Kak Albert yang penyabar dan lembut hati itu tidak pantas untukmu! Pergi dari rumah ini! Pergi!” teriak Dewi marah. Lantaran terlalu sibuk mengusir Nita, tak sengaja ia memecahkan sebuah guci. Alhasil guci mahal itu jatuh dan pecah. Dewi memunguti pecahan-pecahannya.

“Guci ini hancur...seperti hati Kak Albert. Tapi jika pecahan-pecahan itu dikumpulkan dan disatukan, maka semuanya akan kembali. Bahkan jauh lebih indah dan rapi. Dan kamu, Nita!” Dewi mendorong kasar punggung Nita ke dekat tangga.

“Kamu tidak berhak lagi mendapatkan hati kakakku!”

Albert  tak tahan melihat semua itu. Ia bergegas ke kamar mandi. Menyalakan shower, lalu duduk di bawahnya. Mengabaikan tubuhnya yang demam karena itu merupakan salah satu gejala Limfoma,  ia membiarkan bajunya basah kuyup. Albert  memeluk lututnya. Berharap kesedihannya terbawa bersama guyuran air shower yang membasahi tubuhnya. Tak ada air mata,

Pria tampan itu teramat larut dalam kesedihan. Sampai-sampai ia tak menyadari ketika Dewi telah duduk di sisinya. Dewi mengulurkan tangan. Lembut membelai rambut Albert.

“Ingat kata Muriel Maufroy dalam novelnya, Kimya Sang Putri Rumi? Kadang kala, beban terasa berat untuk dipikul sendirian.” Dewi berkata lembut. Lalu ia melanjutkan.

“Kakak jangan sedih ya?”

“Nita bukan wanita yang baik. Dia tidak tahu betapa menderitanya Kakak. Dia tidak mengerti \bagaimana rasanya sakit kanker getah bening. Limfoma Hodgkin’s itu kasus yang sangat langka, Kak. Nita tidak mau tahu rasanya sel-sel darah putih dan kelenjar limfa rusak karena kanker, sulit bernafas dan batuk darah karena metastasis sel kanker ke paru-paru, dan banyak konsekuensi menyakitkan lainnya. Tapi Kakak jangan sedih lagi ya? Kakak masih punya Ayah, Ibu, dan aku. Aku akan selalu ada untuk Kakak.” ujar Dewi, tulus dan dalam.

“Terima kasih, Dewi. Kamu, Ayah, dan Ibu adalah alasan terbesarku untuk bertahan.” balas Albert.

Dewi menggenggam tangan Albert. “Aku percaya, Kakak pasti menemukan belahan jiwa kelak. Belahan jiwa yang akan mencintai Kakak dengan tulus. Yang bisa menerima Kakak dengan semua kekurangan, kelebihan, dan masa lalu yang Kakak miliki. Orang baik seperti Kak Albert pantas mendapatkan belahan jiwa yang baik juga.”

“Iya, Dewi.”

Perlahan-lahan, Dewi membantu kakaknya berdiri. Saat akan beranjak meninggalkan kamar mandi, Albert  kembali merasakan sakit. Dewi menyadarinya.

“Kak, apa yang Kakak rasakan? Mana yang sakit?” tanyanya cemas.

Albert  membungkuk. Lalu ia muntah rah. Dalam sekejap, lantai putih itu berubah merah karena darahnya sendiri. Wajah Albert  semakin pucat. Ia jatuh pingsan di pelukan Dewi.

**   

“Bahasa yang digunakan merupakan kunci sukses-tidaknya hypnotherapy. Begitu pun dalam konseling dan beberapa metode terapi lainnya. Kata-kata yang diucapkan bersifat teraputik dan bermuatan sugesti positif...”

Tak jauh dari rumah megah bergaya kolonial itu, tepatnya di sebuah universitas, seorang gadis tengah mempresentasikan makalahnya. Acara Mahasiswa Berprestasi tengah diikutinya. Terlihat gadis berambut panjang dan bermata biru itu melakukan presentasinya dengan rileks dan percaya diri. Ia terbiasa tampil di acara-acara seperti itu.

Presentasi usai. Tepuk tangan memenuhi ruangan oval dengan red carpet itu. Dosen walinya mendekat. Membanggakannya di depan dosen-dosen lain. Mengatakan jika gadis itu juga seorang hypnotherapyst seperti dirinya.

Gadis itu melangkah anggun meninggalkan ruangan. Sesaat ia berhenti. Bukan karena menginjak tepi maxi dress broken white-nya, melainkan karena ingin bersyukur. Mensyukuri jalannya presentasi. Ia telah mencoba melakukan yang terbaik.

“Demi Allah, demi motivator dan idolaku, Nabi Muhammad, demi keluarga, demi Albert,  demi pasien-pasienku, demi anak-anak pengidap kanker di rumah perawatan itu, demi Mr. Jatmika yang membanggakanku dan membuatku merasa aman selama presentasi,  dan demi semua orang yang mencintaiku.” Gumamnya. Lalu ia mempercepat langkah. Saatnya menemui instruktur modelingnya.

Akankah gadis ini yang kelak menjadi belahan jiwa Albert? Pengganti yang lebih baik dari Anita Rossa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun