Pria tampan itu teramat larut dalam kesedihan. Sampai-sampai ia tak menyadari ketika Dewi telah duduk di sisinya. Dewi mengulurkan tangan. Lembut membelai rambut Albert.
“Ingat kata Muriel Maufroy dalam novelnya, Kimya Sang Putri Rumi? Kadang kala, beban terasa berat untuk dipikul sendirian.” Dewi berkata lembut. Lalu ia melanjutkan.
“Kakak jangan sedih ya?”
“Nita bukan wanita yang baik. Dia tidak tahu betapa menderitanya Kakak. Dia tidak mengerti \bagaimana rasanya sakit kanker getah bening. Limfoma Hodgkin’s itu kasus yang sangat langka, Kak. Nita tidak mau tahu rasanya sel-sel darah putih dan kelenjar limfa rusak karena kanker, sulit bernafas dan batuk darah karena metastasis sel kanker ke paru-paru, dan banyak konsekuensi menyakitkan lainnya. Tapi Kakak jangan sedih lagi ya? Kakak masih punya Ayah, Ibu, dan aku. Aku akan selalu ada untuk Kakak.” ujar Dewi, tulus dan dalam.
“Terima kasih, Dewi. Kamu, Ayah, dan Ibu adalah alasan terbesarku untuk bertahan.” balas Albert.
Dewi menggenggam tangan Albert. “Aku percaya, Kakak pasti menemukan belahan jiwa kelak. Belahan jiwa yang akan mencintai Kakak dengan tulus. Yang bisa menerima Kakak dengan semua kekurangan, kelebihan, dan masa lalu yang Kakak miliki. Orang baik seperti Kak Albert pantas mendapatkan belahan jiwa yang baik juga.”
“Iya, Dewi.”
Perlahan-lahan, Dewi membantu kakaknya berdiri. Saat akan beranjak meninggalkan kamar mandi, Albert kembali merasakan sakit. Dewi menyadarinya.
“Kak, apa yang Kakak rasakan? Mana yang sakit?” tanyanya cemas.
Albert membungkuk. Lalu ia muntah rah. Dalam sekejap, lantai putih itu berubah merah karena darahnya sendiri. Wajah Albert semakin pucat. Ia jatuh pingsan di pelukan Dewi.
**