Mohon tunggu...
Latifah Hardiyatni
Latifah Hardiyatni Mohon Tunggu... Buruh - Buruh harian lepas

Latifah, seorang wanita penyuka membaca dan menulis sederhana

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Terlahir dari Selembar Rahim

8 April 2023   07:56 Diperbarui: 8 April 2023   11:02 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Terlahir Dari Selembar Rahim

Oleh: Latifah Hardiyatni

Hujan baru saja berhenti saat aku turun dari bus. Trotoar masih basah, sisa-sisa air hujan masih menggenang pada lubang-lubang tepi jalan.

Aku menyeret kaki yang rasanya sudah sangat berat digunakan untuk berjalan. Seharian berjalan ke sana ke mari ditambah menumpu tubuh sambil berhimpitan dalam bus bukanlah hal yang mudah.

Mungkin wajahku kini sudah terlihat seperti kanebo yang baru saja digunakan untuk mengelap mobil penuh lumpur. Jangankan disapa saat berpapasan dengan orang lain yang ada mereka malah menjauh dariku.

Tibalah aku pada persimpangan jalan ini. Di mana aku harus masuk ke dalam gang untuk sampai ke rumah. Sebuah kontrakan kecil yang kata tetanggaku tak terawat penuh buku dan kertas. Cih! Mereka tak tahu saja jika buku-buku dan kertas-kertas itu bukanlah seperti pada umumnya. Buku dan kertas itu akan menjelma perempuan cantik dan membuat darahku mengalir deras.

Pencahayaan dalam gang ini memang terbilang kurang. Sedang ukuran jalan yang sempit dan bau-bau tak sedap menjadi teman setiap hariku.

Mataku tanpa sengaja melihat tubuhnya yang tergeletak di sudut gang. Kupicingkan mata untuk memindai apa yang kulihat kini. Selembar kertas. Sialnya dia terlihat sangat seksi.

"Sorry, aku tak bisa membawamu," ucapku sambil menjauh darinya.

Aku mendengar dengan jelas bahwa dia terkikik meski suaranya tak begitu lantang. Hal yang membuatku menghentikan langkah dan berbalik menatapnya.

"Bahkan kamu bisa membawaku untuk semalam saja," ucapnya lembut diiringi kedipan mata sayu.

Aku meneguk ludah dengan susah payah. Wajah penuh lumpur, kalimat-kalimat yang menyerupai sulur-sulur rambut basah terkena hujan, dan tangan itu mendekap tubuhnya sendiri. Ah, benar-benar sial. Apakah lelaki sejati membiarkan sehelai kertas menggigil di bawah hujan? Bisa mati dia.

"Aku bisa memberimu anak. Bukankah itu yang kamu inginkan kali ini? Seharian pikiranmu tak jelas mencari benih-benih anak yang bisa kau lahirkan esok. Lihatlah, sampai wajah dan tubuhmu begitu dekil."

Aku menatap tubuhku. Ya! Yang dia katakan memang benar. Apakah kini aku harus membawanya pulang? Menghabiskan malam bersama setelah aku mengeringkan tubuhnya?

"Semoga saja apa yang kamu katakan benar."

Kertas itu tersenyum kegirangan. Entah mengapa aku merasakan desiran aneh yang telah lama tak pernah kurasakan. Aku ingat betul perasaan ini perlahan hilang setelah aku ditinggalkan oleh wanita pujaanku bersama sebuah cincin yang dulu menghiasi jemarinya.

Kami tiba setelah berjalan kurang lebih lima menit. Aku bergegas meletakkan tas yang agak basah pada gantungan. Lalu, membawa dia, si cantik yang baru saja kutemui ke atas ranjang.

Aku ingat ada sebuah hair dryer usang di lemari bawah. Benda kecil itu akan mengeringkan sulur-sulur rambutnya yang basah.

"Kamu terlihat semakin cantik. Aku akan membersihkan diri. Kamu bisa beristirahat terlebih dahulu."

Tanpa menunggu jawaban dari dia, aku berlalu ke kamar mandi. Jika saja aku berdiam diri lebih lama lagi mungkin aku akan terhipnotis dengan sorot matanya.

Aku menyugar rambut yang basah setelah selesai mandi. Secangkir teh akan terasa nikmat untuk dinikmati bersama dia. Atau kopi? Biar mata terus terjaga.

Selembar kertas itu duduk dengan anggun di atas ranjang. Dia tersenyum manis dengan kedipan mata yang menggoda. Membuat tanganku sedikit lemas hingga cangkir dalam genggaman goyah.

"Haruskah aku lakukan sekarang?"

Entah berapa lama aku terlelap setelah kejadian semalam. Mata masih terasa berat untuk terbuka, sedang sorot mentari sudah menerpa wajah.

"Selamat pagi," sapanya lembut tepat di telingaku.

Aku mengerjap, lalu tersenyum menatapnya. Dua anak karya telah lahir dari rahimnya, selembar kertas yang kupungut di tepi jalan.

"Sekarang kamu bisa membuangku. Terima kasih untuk semalam."

"Kamu akan tetap di sini. Menemaniku melahirkan anak-anak yang lain. Ayolah, dua anak masih kurang."

Magelang, 8 April 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun