Mohon tunggu...
Latifah Hardiyatni
Latifah Hardiyatni Mohon Tunggu... Buruh - Buruh harian lepas

Latifah, seorang wanita penyuka membaca dan menulis sederhana

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Cerpen Ramadan: Mengikir Ketumpulan

30 Maret 2023   07:22 Diperbarui: 30 Maret 2023   13:45 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Mengikir Ketumpulan

Oleh: Latifah Hardiyatni

"Kamu mau memikirkan cara apa lagi? Percuma! Sekeras apa pun kamu mencoba pada akhirnya akan menyerah dan memilih berdamai denganku."

"Diam! Kamu bisa diam tidak? Ini belum subuh dan kamu terus mengoceh hingga telingaku berdenging."

"Hahaha!"

Demi apa dia malah tertawa dengan suara sumbang seperti itu. Rasanya ingin kusumpal mulutnya yang tak bisa berhenti berbicara sejak semalam.

Terpaksa aku bangkit dari ranjang dengan  busa usang yang sudah mengempis di bagian tengahnya. Ia masih saja menempel di atas kepala layaknya parasit. Lengket dan sangat rekat. Aarggh! Menyebalkan.

Aku tak ingat sejak kapan ia mulai ikut denganku. Seingatku dulu ia memang sudah ada di sana. Namun, belum sebesar sekarang. Mungkin ukurannya dulu hanya sebutir  kelereng. Kini, hampir menutup seluruh rambutku.

Jika saja penampilannya sedap dipandang mata, ini kebalikannya. Warna kuning dengan rekahan-rekahan layaknya tanah kemarau. Ia berhasil menumpulkan pikiran.

Kenapa tak keramas? Begitu pemikiran kalian? Atau tak kesalon saja?

Percayalah! Aku pernah melakukan semua itu. Alih-alih berhasil dan pikiranku tak lagi tumpul yang ada hanyalah pening sebab tabungan terkuras habis. Ya! Aku memang sial. Sial setelah bertemu dengannya yang entah sejak kapan beranak pinak di atas kepalaku.

"Hei! Kamu mau ke mana?"

 

Suaranya membuyarkan ingatanku tentang masa lalu. Aku ralat, masa beberapa saat lalu.

"Ayolah, ini masih petang. Kamu mau apa? Pasti kamu sudah bersiap untuk berdamai denganku bukan?"

Aku berdecih sebagai jawaban. Mana ada aku berdamai dengannya. Bersekutu dengannya sama halnya melayukan tangkai-tangkai ag susah payah aku rawat.

Kakiku berhenti tepat di ambang pintu. Di sebelahnya terdapat sebilah pisau yang terselip pada dinding anyaman bambu. Dengan sigap aku mengambilnya. Lalu, berjalan tergesa ke belakang rumah. Lebih tepatnya ke tempat mempertajam pisau.

"Mau kamu apakan pisau itu kali ini?"

"Jalan terakhir untuk menghilangkanmu!"

Kerak tadi kembali tertawa. Menggelegar. "Diam! Kamu bisa membangungkan orang tuaku!"

"Ternyata kamu makin konyol. Mana bisa benda itu menghilangkanku. Aku akan tetap bermukim di kepalamu!"

"Arggh!"

Aku mengerahkan semua tenaga yang ada.

Srek! Srek!

Pisau beradu dengan batu. Putih mengkilat. Kini giliran aku yang tertawa. Sebentar lagi aku akan terbebas dari kerak itu. Setelahnya aku bisa leluasa menari lagi dengan pena di antara tangkai-tangkai tanaman yang sudah terawat.

Menghilangkan dia di belakang rumah sepertinya bukan hal yang bagus. Aku akan sedikit menjauh. Ke tepian sungai dekat tempat pembuangan sampah itu. Nanti setelah dia lepas, aku akan membuangnya ke sungai biar terlarung hingga jauh.

"Apa mulutmu tak sakit tertawa terus?" tanyaku sesampainya di tepi sungai.

"Tak pernah ada kata sakit untukku. Sebentar lagi kita akan jadi sekutu. Hahaha."

"Jangan bermimpi!"

Tanganku meraba kepala. Terasa kasar dan ... menjijikkan. Kuhirup nafas dalam sebelum meletakkan ujung pisau ke kepala.

Ting!

Apa ini? Bahkan pisau berdenting saat kugunakan untuk menghilangkannya? Kerak sialan!

"Apa yang kamu lakukan?" tanyanya di sela derai tawa. Tawa yang seakan menyatu dengan gemercik aliran sungai. "Kamu hanya membuatku geli."

"Aarggh!" Aku membanting pisau ke sembarang arah.

Apa lagi kini yang harus aku lakukan?

Wajahku terasa panas. Sedang dadaku serasa mau meledak. Panas menjalar ke seluruh tubuhku. Bahkan angin yang berembus tak mampu menetralisir rasa yang ada.

Plek!

Sebuah kertas bekas---yang sepertinya berasal dari tempat pembuangan sampah---mendarat di wajahku. Sisa lumpur kering menempel pada kertas tadi.

Aku mengernyit. Apa ini?

"Jangan! Jangan dibaca!" serunya tiba-tiba. "Aku mohon jangan! Demi kebaikan kita aku mohon jangan dibaca!"

"Hahaha! Jadi ini kelemahanmu? Baiklah. Ayo kita lakukan!"

"Tidaaak!"

Magelang, 29 Maret 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun