Mohon tunggu...
Latifah Hardiyatni
Latifah Hardiyatni Mohon Tunggu... Buruh - Buruh harian lepas

Latifah, seorang wanita penyuka membaca dan menulis sederhana

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ajang Pembuktian

13 Maret 2023   09:22 Diperbarui: 13 Maret 2023   09:39 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ajang Pembuktian

Oleh: Latifah Hardiyatni

"Kar! Sekar! Buka pintunya!"

Ketukan pintu dan teriakan dari luar sebuah kontrakan membuat Sekar, gadis yang mendiami kontrakan itu menggeliat. Baru saja dia terlelap, bahkan belum terbuai mimpi indah, tapi sudah bangun lagi karena kaget.

Teriakan dan ketukan terdengar lagi. Kali ini dengan ritme yang lebih cepat dan lebih kencang. Sekar mengusap matanya sebelum turun dari ranjang.

"Iya, sabar!" sahut Sekar dari dalam. Dia sempat melirik jam yang menggantung di dinding barang sejenak sebelum membuka pintu kamarnya. Jam menunjukkan pukul 23.00 WIB. 

"Siapa yang datang malam-malam begini?" gerutu Sekar dengan logat khas Jawa. Sebagai perantau yang datang ke kota beberapa tahun lalu, cara bicara Sekar masih saja sama, medhok.

Sesampainya di balik pintu, Sekar langsung membukanya. Terlihat Siti, sepupu Sekar berdiri di depan pintu dengan menenteng barang belanjaan yang cukup banyak.

"Kamu dari mana aja, Ti?"

Siti tak langsung menjawab. Dia malah menerobos masuk ke dalam, lalu duduk di salah satu sofa usang yang busanya sudah mengempis.

"Kamu lupa lagi, kan! Jangan panggil aku siti. Tapi Sisil!"

Sekar menggaruk tengkuknya yang tak gatal sambil berjalan mendekati Siti setelah menutup pintu. Setelah beberapa minggu Siti tinggal bersama Sekar, dia merubah namanya. Dari yang semua Siti Rabiah, menjadi Sisil Teera Bia. Tak hanya itu, sifat dan sikap Siti juga berubah.

"Kamu belanja lagi, Ti? Eh, Sisil."

"Iya, dong."

"Buat apa?"

"Kok pake tanya, sih! Kamu, kan tahu alasan aku sering belanja gini. Besok jalan-jalan, yuk."

Bibir Sekar maju beberapa inci. Dia terlihat tak sesemangat Siti yang masih sibuk menurunkan belanjaannya. Sekar malam duduk bersandar pada sandaran sofa sambil mengusap matanya yang masih terasa pedas.

Setelah mendapat gaji pertamanya, Siti sering belanja barang-barang mewah. Satu lagi kebiasaan Siti, dia sering kali jalan-jalan dan memposting semua kegiatannya di akun media sosial yang dimilikinya.

"Gimana? Kamu mau, kan nemenin aku jalan-jalan?"

"Emang buat apa, sih sering-sering belanja, jalan-jalan? Paling buat konten aja, kan?"

"Nah, kamu tahu. Konten ini sangat penting buat aku, Kar."

"Apa pentingnya coba? Pamer doang itu mah."

"Justru itu. Aku memang sengaja buat pamer. Aku mau menunjukkan kepada mereka kalau aku juga mampu beli."

Siti meletakkan paperbag yang dipegang secara asal ke meja. Dia menatap lurus ke lorong yang membawanya pada kejadian silam.

Waktu itu, Siti baru duduk di SMP. Semua teman-temannya mengejek dia yang terlahir dari keluarga kurang mampu. Seperti drama yang sering terlihat. Siti dibully dan diolok-olok.

"Sampai kapan pun kamu tak akan pernah bisa beli sepatu kayak punyaku ini, Ti! Berani-beraninya kamu nginjak sepatu ini!" kata salah seorang teman kelasnya. "Dan tempat pensil aku yang ilang pasti kamu yang ambil, kan! Ngaku aja, deh."

Sebuah usapan lembut membuyarkan lamunan Siti. Membuat gadis yang saat ini akan memasuki usia 20 tahun itu mengerjap beberapa kali. Siti lalu menoleh setelah mengusap pelupuk matanya.

Sekar merengkuh tubuh sang sepupu. Perlakuan tak enak seperti yang Siti alami juga menimpa Sekar dulu. Dia juga sering diejek dan diolok-olok oleh teman-temannya karena berpakaian bekas pakai. Namun, Sekar tak menaruh dendam. Dia fokus bekerja apa saja untuk membantu orang tuanya di kampung.

Saat paman dan bibinya tahu jika Sekar ulet dan bekerja keras. Mereka menyuruh Sekar untuk membawa Siti ke kota. Orang tua Siti sangat berharap jika anaknya akan seperti Sekar. Namun, kenyataannya jauh api dari panggang.

"Kalau kamu membuktikan kepada mereka dengan cara pamer barang mewah dan jalan-jalan di media sosial itu salah, Ti. Mereka tak akan pernah menganggap kamu sudah sukses dan berada."

"Terus gimana, dong, Sekar? Aku bener-bener sakit hati sama mereka."

"Tak perlu tunjukkan apa-apa sama mereka. Kamu cukup fokus pada diri sendiri dan tujuan hidupmu. Membahagiakan orang tua lebih utama dari pada memikirkan dendam."

Belum sempat Siti menjawab ucapan Sekar, ponsel Siti berdering. Sebuah panggilan dari ibunya. Sejenak Siti berpikir untuk apa ibunya telepon malam-malam begini?

"Halo, Bu."

"Ti, adikmu, Ti. Dia masuk rumah sakit karena kecelakaan. Ibu enggak pegang uang. Kamu ada tabungan, Nak?"

Siti seperti menelan buah jeruk utuh dan menyangkut di tenggorokan. Sesak. Dia bingung harus bagaimana. Sedang uang gajinya sudah dipakai untuk belanja dan tabungannya ... entah isi berapa.

Melihat Siti kebingungan Sekar langsung mengambil ponsel dari genggaman Siti. Dia berbicara singkat dan langsung mematikan telepon. Kemudian berlalu mengambil dompet dan kartu ATM-nya.

"Ayo, Ti, kita ke ATM terdekat."

Alih-alih menjawab, Siti malah mematung dengan mata berkaca-kaca.

"Ayo, ah, lama!"

"Makasih, ya, Sekar." ucap Suti sambil merengkuh tubuh Sekar. "Harusnya dari dulu aku nabung. Bukan malah gini."

"Udah enggak apa! Ambil aja hikmahnya buat hari esok."

Magelang, 12 Maret 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun