Suara adzan magrib berkumandang, persis ketika keduanya sampai di depan rumah bercat biru . Bibi Lik terpogoh-pogoh keluar dari ruang tamu, membantu Fiyah menurunkan pisang yang dari tadi dibawa dengan hati-hati.
“Aduuuh, maafin bibimu ini yaa. Masak Bu Guru disuruh susah payah nganterin pisang.” Goda Bibi Lik. Sambil melihat raut wajah Fiyah yang kesal.
“Yuk-yuk masuk lewat pintu dapur, di depan ada tamu. Tuh lagi ditemani oleh Paman Dido.” Bisik Bibi Lik.
Udah tau, batin Fiyah. Mereka mengikuti langkah Bibi Lik menuju pintu dapur. Setandan pisang yang tadi kubawa, sudah diamankan oleh Bibi Lik.
“Ayo sini, ikut Bibi. Ada yang mau bicara sama kalian berdua.”
“Siapa Bi?” Tanya Fiyah
“Udah sini, ikut bibi.”
Fiyah dan ibunya dibawa ke ruang tamu.
“Ini lho Yu Sri, Kakakku. Ibunya Fiyah.”
Yu Sri berdiri , dan menyalami ibu Fiyah. Ibu Fiyah menyambut dengan hangat sekali
Perasaan Fiyah sudah mulai tak enak. Di samping Yu Sri terdapat seorang pemuda yang turut berdiri. Ia tampak grogi. Hendak kemana kah pandangannya diarahkan. Ke Fiyah atau ke ibu Fiyah. Senyum kecilnya juga tak bisa ia sembunyikan, tersipu malu dan membuatnya semakin salah tingkah.