Bibi Lik berbincang dengan Ibu Fiyah. Sesekali keduanya tertawa terkekeh-kekeh. Entah apa yang dibicarakan. Dua kakak beradik itu memang sangat rukun. Fiyah memilih pergi ke kamar untuk istirahat sejenak, sebelum mandi dan makan siang.
“Fiyah, habis mandi, salat terus makan. Nanti habis ashar kita ke rumah Bibi Lik. Bantuin ibu antar panenan pisang. Kata Bibimu pisangnya akan diambil oleh pembelinya nanti malam. Jadi sore ini harus kita antar”
“Kenapa ga tadi diangkut sekalian Bu,” protes Fiyah.
“Pisangnya sudah banyak yang masak. Kalau diangkut di pickup kawatir rusak. Kita antar pakai motor aja. Toh Bibimu hanya pesan setandan aja.”
Di samping rumah mereka memang ada sebidang tanah luas yang ditanami beragam jenis pisang. Kebun tersebut dijadikan laboratorium praktik ayahnya Fiyah dalam budidaya pisang secara modern dan meminimalisir hama yang kerap menyerang tanaman.
Meski rasa lelah ditubuh Fiyah belum habis, waktu sore tetap saja datang menyapa tanpa bisa ditunda. Sebentar lagi Fiyah dan ibunya akan alih profesi menjadi tukang pisang. Ayahnya tak bisa diganggu, dia lagi sibuk menulis artikel ilmiah soal pisang.
Ah liburan di rumah memang waktu yang ditunggu-tunggu. Biasanya Fiyah sangat menikmati aktivitas menjadi wanita yang tinggal di kampung. Seperti pergi mengantar makanan untuk para chunin di sawah, membuat kue, membuat terasi, bantu-bantu kios bibi di pasar. Baginya semua itu hiburan, kalau kata orang kota healing. Namun sore itu Fiyah sangat lelah dan ingin bermalas-malasan dengan rebahan saja
Dengan susah payah Fiah duduk diboncengan motor yang akan dikendarai ibunya, sambil hati-hati membawa pisang pesanan Bibi Lik.
“Huh, merepotkan.” Keluh Fiyah
“Yaah, sabar sedikit kenapa sih. Kan ayahmu lagi ga bisa diganggu. Ditambah mobil tuanya juga lagi di bengkel.”
Kelokan jalan bebatuan sudah terlewati. Tinggal jalan dengan pemandang bentangan sawah. Meski jalannya mulus, namun tetap saja, menyeramkan. Tak ada satupun orang yang lewat kecuali mereka berdua. Kalau ada begal, ya sudahlah.