Bagaimana jika realitasnya terbalik?
Kau adalah perempuan yang kutemui di puncak bukit itu di suatu musim kemarau yang terlampau panjang, menari-nari kecil di bawah pohon jati yang rasanya sudah hidup sejak planet ini tercipta.
Kau, perempuan di atas bukitku, yang menolak menua bersama usia, yang kerap memotong pendek rambut tipis pun kecokelatanmu, yang memandang segalanya dengan mata bulat bersinar-sinarmu. Kita berdua yang duduk bersandar di tubuh kokoh pohon jati kita, memandang matahari terik di atas sana.
"Jika kita mati, kita akan kembali menjadi wujud murni kita dan bergabung dengan lautan kosmik," katamu sambil memainkan jari-jemari tanganku yang kau genggam lembut.
"Apa itu lautan kosmik?" tanyaku. Ia memang memiliki segudang pemikiran gila terkait segala bentuk kehidupan.
"Itu adalah tempat sebelum segala sesuatu memiliki waktu. Tempat keabadian. Kita semua berasal dari sana. Kadang, kita tidak sengaja atau karena algoritma tertentu, jatuh dan terseret menuju kehidupan, lantas mengenal waktu maupun ruang."
Kau menggunakan jari jemari tanganmu dan jari jemari tanganku untuk menghalau matahari terik di atas sana.
"Aku menyukai caramu melihat matahari melalui sela-sela jemari kita," kataku, sementara kau memainkan jari jemari kita sehingga bayangannya menari-nari di wajahmu dan wajahku.
"Kenapa begitu?" tanyamu lirih.
"Tidak ada alasan khusus." Aku menjawab, sementara aku tahu kau mengguratkan senyum di wajahmu.
"Kemarau tahun ini akan panjang, ya," katamu. Ya, aku ingat kau pernah membahas perihal ini di awal musim.
"Ya."
"Kau masih ingat kenapa?" Kau melepas jemariku, bergegas meringkuk memeluk lenganku dengan kepalamu yang menyandar padaku. Aroma bunga lavender yang selalu khas dari rambutmu menguar hangat.
"Setiap sepuluh tahun sekali, kemarau akan lebih panjang dari penghujan."
"Jadi kau ingat ya," balasmu. "Tetapi, sudah kuceritakan tentang petaka yang akan terjadi di musim penghujannya?"
"Belum." aku menjawab. "Adakah petaka yang akan terjadi?" tanyaku.
Kau mengangguk pelan.
"Seperti, virus flu jenis baru yang akan jadi pandemik global, misalnya,"
"Sungguh?" aku terkejut.
"Seperti di novel Inferno saja kan?"
"Itu benar akan terjadi?"
Kau tertawa-tawa selepasmu musim itu. "Tidak. Bukan petaka semacam itu." Kau merapatkan pelukanmu di lenganku. "Hanya saja petaka semacam hati yang mendadak patah."
Hening setelah itu. Aku menoleh ke wajahmu yang masih mengguratkan sisa-sisa senyum sementara matamu kau pejamkan. Ya, aku paham apa maksudmu, Perempuan. Perihal hati yang kau bicarakan. Perihal petaka yang kau maksud yang berhubungan denganku pula.
Tapi biarlah, toh seperti katamu, kemarau akan berlangsung teramat lama tahun ini.
Kau melepas lenganku, tersenyum lebar kepadaku, lantas berkata dengan pelan, "Aku ingin menari saat ini," senyummu semakin lebar.
Sebelum aku mengangguk, kau beranjak berdiri, melompat-lompat sampai gaun musim panas warna cokelatmu melambai-lambai. Kau menari, bersenandung lagu lama tentang kota beserta langitnya, berputar-putar sambil sesekali tersenyum ke arahku, lalu membiarkan embusan angin menyibak rambut beraroma lavendermu.
Kau sungguh menikmati aktivitas menari di puncak bukit kita, di musim kemarau yang terik, di bawah pohon jati yang kokoh, pun di antara desiran angin kering nan panas.
"Aku ingin hidup selamanya!" Kau melompat riang.
Ya, perempuan. Kau akan hidup selamanya.Â
Musim berganti setelahnya.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H