Bagaimana jika realitasnya terbalik?
Kau adalah perempuan yang kutemui di puncak bukit itu di suatu musim kemarau yang terlampau panjang, menari-nari kecil di bawah pohon jati yang rasanya sudah hidup sejak planet ini tercipta.
Kau, perempuan di atas bukitku, yang menolak menua bersama usia, yang kerap memotong pendek rambut tipis pun kecokelatanmu, yang memandang segalanya dengan mata bulat bersinar-sinarmu. Kita berdua yang duduk bersandar di tubuh kokoh pohon jati kita, memandang matahari terik di atas sana.
"Jika kita mati, kita akan kembali menjadi wujud murni kita dan bergabung dengan lautan kosmik," katamu sambil memainkan jari-jemari tanganku yang kau genggam lembut.
"Apa itu lautan kosmik?" tanyaku. Ia memang memiliki segudang pemikiran gila terkait segala bentuk kehidupan.
"Itu adalah tempat sebelum segala sesuatu memiliki waktu. Tempat keabadian. Kita semua berasal dari sana. Kadang, kita tidak sengaja atau karena algoritma tertentu, jatuh dan terseret menuju kehidupan, lantas mengenal waktu maupun ruang."
Kau menggunakan jari jemari tanganmu dan jari jemari tanganku untuk menghalau matahari terik di atas sana.
"Aku menyukai caramu melihat matahari melalui sela-sela jemari kita," kataku, sementara kau memainkan jari jemari kita sehingga bayangannya menari-nari di wajahmu dan wajahku.
"Kenapa begitu?" tanyamu lirih.
"Tidak ada alasan khusus." Aku menjawab, sementara aku tahu kau mengguratkan senyum di wajahmu.
"Kemarau tahun ini akan panjang, ya," katamu. Ya, aku ingat kau pernah membahas perihal ini di awal musim.