“Menghilang,” tutur lelaki itu tanpa emosi. “Persis seperti Anda, sepuluh tahun yang lalu. Yang saya tidak paham, mengapa orang melakukan yang begitu. Ya Anda, ya dia. Waktu terus berjalan. Cepat atau lambat, orang harus membayar harganya. Dan waktu itu mahal, tahu.”
Ia menyalakan sepuntung rokok baru, menghisapnya, dan menghembuskan asap ke hadapan muka Ando yang semakin tak tenang.
“Tentu saja, kecuali mereka memilih menghilang selamanya,” tambahnya acuh tak acuh. “Malah mungkin lebih bagus begitu. Merepotkan saja, manusia semacam itu. Seenaknya kabur, balik-balik merasa semuanya masih sama-sama saja.”
Pada titik itu ia bangkit dari kursi. Ando tersentak dan ikut berdiri, tangannya terjulur memegang lengan lelaki itu, memohonnya untuk duduk kembali.
Lelaki itu memandangnya dengan ketus. “Anda sudah menyita waktu saya. Saya sudah memberikan yang Anda minta. Apa lagi yang Anda inginkan?”
“Urusan saya dengan Bagus belum selesai, Pak. Tolong, saya harus bagaimana?” pinta Ando dengan suara getir.
Mata lelaki itu merah menahan amarah.
“Secara hukum, Mas Bagus sudah tidak punya hak atas hartanya. Seharusnya pihak bank yang mengambil alih semua barang milik Mas Bagus termasuk utang-utangnya sudah mengirimkan pemberitahuan tertulis. Kalau Anda tidak pernah menerima pemberitahuan semacam itu, berarti Bagus tidak mengatakan apa-apa pada pihak bank. Anda kira urusan Anda penting baginya? Asal Anda tahu, masalah dia dengan bank beratus-ratus kali lipat nilai utangmu! Sudah, anggap saja urusan itu beres, titik. Sekarang silakan tinggalkan kediaman saya. Saya mau istirahat.”
Ando didorongnya keluar, pintu dibanting di belakangnya. Dari dalam rumah terdengar suara televisi disetel keras-keras, diikuti rangkaian sumpah serapah yang ditujukan pada dirinya.
Ia meratap.
Dan bersimpuh.