Bus meluncur menembus pusat kota. Dari alamat yang tertulis di amplop surat, rumah Bagus seharusnya sudah dekat. Begitu bus sampai di pemberhentian selanjutnya, aku bergegas turun.
***
“Pak, orang itu dari tadi mondar-mandir di depan rumah kita terus, lho. Apa tidak kita pergoki saja?” kata Bu Catur pada suaminya yang tengah sibuk membaca koran.
Pak Catur melongok ke jendela. Kacamatanya melorot sampai ke ujung hidung.
Memang benar, ada sesosok laki-laki bertopi kuning yang bolak balik lewat di depan halaman mereka. Jelas pula berkali-kali ia melirik ke arah jendela, seakan hendak mengintip ke dalam.
Pak Catur menaruh korannya di atas meja. Ia merasa tak ada calon perampok yang bakal memakai topi senorak itu. Tetapi demi ketentraman hati istrinya, ia bertindak sesuai yang diminta. “Siap-siap telepon polisi, Bu, kalau ada apa-apa,” bisiknya sebelum membuka pintu depan lebar-lebar.
Lelaki itu terkejut melihat Pak Catur keluar. Jelas ia tak mengenal Pak Catur dan tak mengharapkan bertemu dengannya. Sekujur tubuhnya tampak kaku, bahkan nyaris gemetaran. Seolah ia bingung antara harus kabur atau diam di tempat.
Sepenggal kalimat meluncur halus dari bawah kumis tebal Pak Catur:
“Ada perlu apa, Mas?”
Lelaki itu tergagap-gagap mencoba menjawab, tapi suara tak kunjung keluar dari mulutnya Sementara itu, Pak Catur melihat amplop dan kertas putih di tangan si lelaki yang basah oleh keringat.
“Oh, apa Mas sedang mencari alamat? Mau saya bantu arahkan?"