Akhirnya lelaki itu mengangguk. Wajahnya sudah tak begitu pucat, dan sambil menyeka keringat di pipinya ia menunjukkan amplop kecilnya kepada Pak Catu. Dia bertanya di mana kediaman seorang bernama Bagus di sekitar situ.
Pak Catur mengerutkan kening ketika membaca tulisan di muka amplop.
“Lho, ini kan alamat kami.”
***
Ia membuang abu rokoknya ke asbak.
“Karena itulah Anda menemui saya.”
Ruang tamu itu hening. Ando menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia tampak lelah. Topi kuningnya tak lagi menempel di kepala. Ia pasti meninggalkannya di tengah jalan, tapi tak ingat di mana.
“Saya seharian keliling kota, Pak. Ke kelurahan, katanya tidak bisa memberikan data apa-apa karena saya bukan keluarga. Lalu ke polisi, pun juga tidak ada pemberitahuan orang hilang. Lalu saya balik lagi ke alamat yang diberikan Bagus— yang sekarang jadi rumah Pak Catur itu. Setelah tanya-tanya lagi, beliau bilang rumah itu dibeli dari acara lelang bank. Barulah dari situ akhirnya saya pergi ke pengadilan …”
“Dan ketemulah nama saya,” sambung lelaki berkemeja necis itu. Ia bicara agak tidak sabaran, sepertinya tak senang menerima tamu tak diundang pada jam selarut itu. “Ya, saya dulu memang mendampingi Mas Bagus melewati semua itu. Tapi kalau Anda berharap saya tahu di mana Bagus sekarang, Anda keliru. Sejak kasus itu dia sudah tidak pernah menghubungi saya lagi.”
Ando tertegun.
“Jadi dia…”