Mohon tunggu...
Lari Kandiri
Lari Kandiri Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.

Salam kenal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kembali

25 Maret 2024   20:54 Diperbarui: 25 Maret 2024   20:55 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seekor kambing merumput di parkiran bandara lama, tuannya mengekor pelan di belakang. Ia menatap ke arah bus yang kunaiki, yang melintasi sepetak tanah kosong tempat gerombolan pengemudi ojek dan taksi biasa mangkal menunggu calon penumpang. Sekarang, penumpang itu dan para tukang ojek dan para sopir taksinya dan para penjaja dan para petugas dan para pekerja dan para pengantar dan para penjemput dan para penguntit dan para penyusup dan para pencopet dan para pengemis dan para pengecut dan para pejuang kehidupan, sama-sama tak kelihatan.

Aku menarik napas. Tak sampai sepuluh tahun, pemandangan akrab di pertigaan bandara ini sudah lenyap tak berbekas. Deru mesin, bunyi klakson, dan kemacetan yang dulu bisa menjalar sampai berkilo-kilo meter panjangnya itu pergi entah ke mana. Mungkin pindah ke tempat lain, ke pojok terpencil yang menjadi lokasi berdirinya bandara baru itu. Aku sendiri belum pernah ke sana, dan tak akan ke sana dalam waktu dekat.

Sekarang di sini hanya ada sunyi. Bus melaju biasa-biasa saja. Perjalanannya tak terganggu, apalagi terburu.

Karena masih banyak waktu sampai tujuan, kubuka lagi surat dari Bagus. Surat itu diketik dengan rapi, berisi kalimat-kalimat panjang yang sopan dan hangat. Mengherankan sebetulnya, di zaman sekarang masih ada orang yang repot-repot berkirim surat. Tapi paling tidak surat ini tidak ditulis tangan. Akan terlalu memalukan, bahkan untuk orang semacam Bagus sekalipun.

Isi surat itu, terus terang, sama sekali tidak penting. Bagus hanya bertanya bagaimana kabar sehari-hari, bagaimana keluarga, apakah sehat dan sebagainya, berbasa-basi dan beramah-tamah. Paling banter ia bercerita singkat tentang rumah barunya di kota. Mungkin Ibu menikmati korespondensi yang seperti itu, karena surat ini toh ditujukan padanya, bukan padaku. Jadi sebetulnya aku tak punya hak untuk berkeluh kesah. Bukan aku yang harus menulis balasannya.

Tapi ada tulisan pendek di penghujung surat itu yang membuatku sedikit gelisah dan tak bisa tenang, semenjak Ibu memberikan amplop itu padaku di ruang tamu:

N.B. Kalau Ando pulang, tolong berkabar ya, Tante. Dia masih punya tanggungan ke saya, hehe.

Ini bukan surat terakhir dari Bagus. Setelah itu, ia tak pernah mengungkit-ungkit urusan itu lagi. Namun, entah menapa Ibu selalu menyimpan surat pertama ini di lacinya dengan hati-hati, dan di situlah ia menunggu penuh kesabaran hingga tiba saatnya aku mengetuk pintu rumahku sendiri dan mengucap salam.

Kupikir itulah alasan mengapa Bagus mengirim surat itu kepada Ibu. Sebagai bukti tertulis yang akan menjadi pengingat sampai akhir waktu.

Kuperhatikan surat itu lagi. Di pojok kanan atas tertulis “16 April 20XX”—dua tahun setelah aku minggat ke Kalimantan. Aku tak yakin apakah ia masih mengharapkan diriku setelah sekian lama. Tetapi daripada terus-menerus diganggu rasa cemas, kuputuskan untuk langsung datang mengunjunginya saja. Kalau ia tetap memintaku membayar utang itu, aku toh sanggup melunasinya saat itu juga.

Dan kurasa itulah alasan kedua mengapa Bagus mengirim surat itu kepada Ibu. Sebagai petunjuk ke mana aku bisa menemukan dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun