Mohon tunggu...
Trie Yas
Trie Yas Mohon Tunggu... Jurnalis - Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Kisah Berseberangan

18 Desember 2018   20:08 Diperbarui: 18 Desember 2018   20:18 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia kembali bercerita tentang rumah kecilnya yang seluruh ruangan hanya dibagi dengan beberapa sekat saja. Seluruh ruangan dibiarkan terbuka (tentu kecuali toilet). Meja belajar, ruang tamu, kasur, dan tumpukan buku-buku.

Waktu kecil, Karena ia lelaki satu-satunya di rumah itu, ia tumbuh menjadi lelaki yang cengceng, yang lebih suka bermain dengan adik-adik nya yang hanya berpaut satu setengah dan dua tahun. Tentunya permainan anak-anak perempuan.

Usianya saat ia menceritakan kisahnya itu sudah menginjak seperempat abad, sudah cukup berhak mengatahui latar belakangnya."Bolehkan aku bertanya sesuatu?Tapi kalau kamu ngga mau jawab, tolong abaikan saja."Tanyaku sedikit ragu.

"Apa ?, kurasa kita sudah menjadi teman, jadi engkau tak perlu ragu bertanya."

Setelah dari Pulau Seribu, aku dan dia hanya beberapa kali berpapasan di kantor dan tak pernah ada kata sapa, hanya tersenyum saja. Pertanyaanku itu, aku ajukan saat pertemuan pertama kami di luar urusan kantor.

"Pasti kamu mau bertanya, apa aku pernah bertanya pada ibu siapa ayahku."Dia membaca keraguanku, "Tentu pernah dan ibu hanya diam,matanya terlihat nanar dan menunduk. Hanya sekali itu aku bertanya, Aku tidak ingin menjadi durhaka dan menurutku kenapa harus mengorek sesuatu yang hanya akan membuat luka lama tergores lagi. Aku paham, mungkin orang -orang akan mengira aku adalah orang yang hidup dari kepura-puraan. Tapi aku sudah terbiasa hidup dalam kepuraan dan diamnya seorang perempuan yang membesarkanku tak membagi masa lalunya."

Setelah itu, temanku mengalihakan pembicaraan, dan aku tak berkeberatan dia mulai membahas musik rock / metal kesukaannya yang bulan depan akan mengadakan konser di kota ini, selera musiknya sungguh berbeda dengan mantan kekasihku yang lebih suka musik inde dan lagu-lagu klasik.

*

Jauh hari sebelum aku membaca cerita pendek yang di muat di koran minggu ini. Yang kisahnya sedikit mirip temanku itu, Aku melihat gambar yang merupakan sosok terkenal di negeri ini, wajahnya mirip temanku itu, kemiripannya bisa dibilang 90%, bahkan tinggi badannyapun mungkin hanya beda beberapa milimeter, usianya hanya terpaut dua atau tiga tahun.

Orang-orang kantor menyebut mereka kembar beda nasib, aku tahu mereka hanya menganggap itu lelucon, tetapi aku tak sempat menanyakan hal tersebut sebab ia mulai menjauh saat tahu aku mulai berpacaran. Semenjak itu juga aku tak pernah mendengar ceritanya tentang sosok ayah dan ibu, tak lagi mendengar cerita tentang wanita-wanitanya, tentang pacarnya sekarang yang kebetulan aku kenal, - mungkin hanya sebatas kenalan-, tak ada obrolan di kedai kopi atau pergi berdua memilih buku di salah satu mall yang menjual buku bekas. Hingga waktu berlalu dan aku pindah kerja, tak lagi sekantor dengannya.

Sampai akhirnya koran minggu pagi ini datang dengan sebuah cerita yang kisahnya mirip dengan perjalanan hidup temanku itu. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan, yang dulu ingin sekali aku tanyakan tapi tak tersampaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun