Mohon tunggu...
Trie Yas
Trie Yas Mohon Tunggu... Jurnalis - Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Kisah Berseberangan

18 Desember 2018   20:08 Diperbarui: 18 Desember 2018   20:18 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cerpen Dua Kisah Bersebrangan (trie yas)

BEBERAPA hari ini aku teringat seorang teman yang hampir tiga tahun tak bertemu, pertama kali aku bertemu dengannya waktu kita sama-sama pergi ke Palau Seribu, tentu kami tidak hanya berdua, ada sekitar 50 orang yang ikut.

Aku adalah orang baru dari sekelompok orang itu, jadi aku lebih memilih diam. Memang aku tak terlalu suka percakapan kecuali dengan diri sendiri dan angin.

Jadi wajar, meski sudah hampir tiga bulan kami bekerja di kantor yang sama. Aku baru benar-benar mengenal wajahnya saat kantor mengadakan perjalanan liburan bareng selama dua hari.

Aku mengingat temanku itu tidak dengan sengaja, semua berawal ketika aku membaca cerita pendek yang di muat koran minggu, sebuah cerpen yang bercerita tentang pencarian. Tokoh utama dalam cerpen itu diceritakan sedang mencari Ayah kandungnya yang sejak lahir belum pernah ia lihat.

Temanku itu pernah bercerita tentang perjalanan hidupnya selama dua puluh lima tahun, ia rangkum dalam dua jam. Dalam perjalanan menuju pantai dari penginapan. ketika menikmati angin malam di pantai, aku lebih tertarik dengan ceritanya. Di lanjutkan dalam perjalanan pulang

Sebagai orang yang suka berkhayal dan menulis. Tentu aku mengincar cerita temanku itu untuk suatu hari bisa aku jadikan cerita pendek atau panjang. Karena keinginanku itu, aku mendengarkan setiap kata  yang keluar dari mulutnya.

Berbeda dengan cerpen yang aku baca, temanku itu mungkin pernah melihat ayah kandunganya, dan sekarang mungkin cuma lupa. Sebab ia memiliki adik dua perempuan semua. Mungkin ia melihat ketika lahir sampai berusia kurang dari lima tahun. Bukankah usia-usia itu, apa yang dilihat dan diperbuat akan hilang disapu waktu?

Temanku itu menceritakan perpisahan itu tanpa terlihat luka, bicaranya lancar, intonasinya datar, tak ada emosi atau kesedihan diraut wajahnya."Aku percaya perpisahan terkadang melahirkan lupa, dan dalam kasusku tentu lupa itu bukan disengaja. Kalau disengaja namanya itu melupakan," jawabnya saat aku bertanya bagaimana perasaannya.

Aku menganggap perpisahan yang diceritakan temanku itu adalah perpisahan sebagai takdir dari sebuah pilihan. Tentunya pilihan ibunya. Sebab perpisahan itu datang tanpa diawali sebuah perkenalan yang selayaknya.

Sepertinya ada masa kelam dalam kehidupan ibunya dan aku tak menyalahkannya ketika memilih diam dari pada menanyakan hal-hal yang sebenarnya berhak ia ketahui tentang masa lalu ibunya, lebih tepatnya masa kelam.

Aku juga masih ingat, dia bercerita tentang rumah limas khas jawa berdinding warna putih, tempat ia tumbuh menjadi penghuni lelaki satu-satunya. Ibunya menyukain warna putih, dari mulai tembok putih, dan beberapa perabotan rumah."Menurut ibuku, putih adalah kehangatan dan ibu selalu berkata bahwa aku dilahirkan untuk memberikan kehangatan di rumah. Awalnya aku tidak paham, tapi saat aku beranjak dewasa, aku mulai mengartikan kehangatan diciptakan dengan kebersamaan dan saling melindungi. Mungkin ibu berharap dengan memberi nama 'Putih'. Aku bisa menggantikan laki-laki yang menitipkan sperma di rahim ibuku, bukan hanya sekali melainkan sampai tiga kali."

Dia kembali bercerita tentang rumah kecilnya yang seluruh ruangan hanya dibagi dengan beberapa sekat saja. Seluruh ruangan dibiarkan terbuka (tentu kecuali toilet). Meja belajar, ruang tamu, kasur, dan tumpukan buku-buku.

Waktu kecil, Karena ia lelaki satu-satunya di rumah itu, ia tumbuh menjadi lelaki yang cengceng, yang lebih suka bermain dengan adik-adik nya yang hanya berpaut satu setengah dan dua tahun. Tentunya permainan anak-anak perempuan.

Usianya saat ia menceritakan kisahnya itu sudah menginjak seperempat abad, sudah cukup berhak mengatahui latar belakangnya."Bolehkan aku bertanya sesuatu?Tapi kalau kamu ngga mau jawab, tolong abaikan saja."Tanyaku sedikit ragu.

"Apa ?, kurasa kita sudah menjadi teman, jadi engkau tak perlu ragu bertanya."

Setelah dari Pulau Seribu, aku dan dia hanya beberapa kali berpapasan di kantor dan tak pernah ada kata sapa, hanya tersenyum saja. Pertanyaanku itu, aku ajukan saat pertemuan pertama kami di luar urusan kantor.

"Pasti kamu mau bertanya, apa aku pernah bertanya pada ibu siapa ayahku."Dia membaca keraguanku, "Tentu pernah dan ibu hanya diam,matanya terlihat nanar dan menunduk. Hanya sekali itu aku bertanya, Aku tidak ingin menjadi durhaka dan menurutku kenapa harus mengorek sesuatu yang hanya akan membuat luka lama tergores lagi. Aku paham, mungkin orang -orang akan mengira aku adalah orang yang hidup dari kepura-puraan. Tapi aku sudah terbiasa hidup dalam kepuraan dan diamnya seorang perempuan yang membesarkanku tak membagi masa lalunya."

Setelah itu, temanku mengalihakan pembicaraan, dan aku tak berkeberatan dia mulai membahas musik rock / metal kesukaannya yang bulan depan akan mengadakan konser di kota ini, selera musiknya sungguh berbeda dengan mantan kekasihku yang lebih suka musik inde dan lagu-lagu klasik.

*

Jauh hari sebelum aku membaca cerita pendek yang di muat di koran minggu ini. Yang kisahnya sedikit mirip temanku itu, Aku melihat gambar yang merupakan sosok terkenal di negeri ini, wajahnya mirip temanku itu, kemiripannya bisa dibilang 90%, bahkan tinggi badannyapun mungkin hanya beda beberapa milimeter, usianya hanya terpaut dua atau tiga tahun.

Orang-orang kantor menyebut mereka kembar beda nasib, aku tahu mereka hanya menganggap itu lelucon, tetapi aku tak sempat menanyakan hal tersebut sebab ia mulai menjauh saat tahu aku mulai berpacaran. Semenjak itu juga aku tak pernah mendengar ceritanya tentang sosok ayah dan ibu, tak lagi mendengar cerita tentang wanita-wanitanya, tentang pacarnya sekarang yang kebetulan aku kenal, - mungkin hanya sebatas kenalan-, tak ada obrolan di kedai kopi atau pergi berdua memilih buku di salah satu mall yang menjual buku bekas. Hingga waktu berlalu dan aku pindah kerja, tak lagi sekantor dengannya.

Sampai akhirnya koran minggu pagi ini datang dengan sebuah cerita yang kisahnya mirip dengan perjalanan hidup temanku itu. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan, yang dulu ingin sekali aku tanyakan tapi tak tersampaikan.

*

Pagi itu, suasana masih sama. Lelaki itu pulang ke rumah ibunya tiap akhir tahun. Rumah itu masih sama. Bau harum dan warna dindingnya masih putih meski tampak sedikit kusam. Sejak ia tahu Ibu selalu berpura-pura. Sepenuhnya ia tak membenci Ibunya, karena Ia telah memutuskan berteman dengan kegelapan, mengikuti jejak wanita yang membesarkannya.

Namun pagi  ini Ia mencoba memulai obrolan. Menceritakan perihal seorang laki-laki yang dilihatnya lewat gambar. Meski belum pernah bertemu langsung, tetapi lelaki itu mendeteksi kemiripan gambar wajah itu dengan dirinya. Jangan salahkan jika ia mengira itu saudaranya.

Lelaki itu menyodorkan selembar kertas, gambar yang ia simpan hampir tiga tahun. Ibunya tidak menunjukkan ekspresi dan hanya berujar lirik. "Setiap orang Ia tentu memiliki tujuh rupa yang sama di dunia, kemiripan adalah hal yang biasa."

Lelaki itu memilih pindah duduk di depan, di teras yang tumbuh pohon-pohon besar, matahari masih malu-malu dan terdengar suara burung. Ia teringat perempuan yang sudah hampir tiga tahun tak bertemu. Perempuan yang pertama kali ia ajak bicara diatas perahu yang mengantar mereka (rombongan kantor) ke Pulau Seribu.

Sejak pertemuan pertama di kantor, lelaki itu merasakan sesuatu, rasa penasaran sebab perempuan itu terlalu pemalu, atau mungkin pendiam atau tipe orang yang lebih asyik dengan dunianya sendiri.

Meski di lingkungan kantor tak saling bertegur sapa ngobrol layaknya teman yang makan siang bareng, tapi lelaki itu sering memperhatikan gerak-geriknya, jam berapa biasanya dia datang dan pulang. Kebiasannya membaca, ia yang tak pernah membeli makan ke luar dan menghabiskan jam istirahat dengan membaca buku, pembawaannya yang tenang dan irit bicara membuat orang di sekitanya menganggapnya sombong.

Sampai akhirnya kesempatan ngobrol itu datang saat kantor mengadakan hunting tahunan ke Pulau Seribu. Meski ia lebih banyak berbicara dan perempuan itu hanya diam, tetapi setidaknya tampak tertarik mendengarkan.

Usaha lelaki itu tak sepenuhnya sia-sia. Ia beberapa kali berhasil mengajak perempuan itu makan dan ikut pergi ke toko buku bekas, meski perempuan itu terlalu hati hati menceritakan tentang perjalanan hidupnya.

"Aku sering mendengar orang berbicara tentang perpisahan, jika aku diberi kesempatan memilih, aku ingin sepertimu, perpisahan tanpa disengaja daripada perpisahan yang harus berusaha melahirkan lupa." ujarnya perempuan itu dengaan suara lirik saat mereka makan mie instan di pinggir jalan.

Pagi ini, lelaki itu tahu kenapa perempuan itu sering tampak sendu dan cara bicara dan sikapnya mirip ibunya. Dan mungkin benar, ia lebih beruntung daripada perempuan misterius itu. Mantan teman kerja yang dulu membuatnya penasaran.

Perempuan itu belum bisa menerima kepergian Ibunya tiga tahun lalu. Dan belum bisa menata hatinya karena tinggal lelaki yang sudah dua tahun ia anggap pacar. Sebuah perpisahan yang susah melahirkan lupa.

*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun