Mohon tunggu...
Trie Yas
Trie Yas Mohon Tunggu... Jurnalis - Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Sehari-hari bekerja sebagai Graphic design, editing foto, editing video (motion graphic). Namun tetap menulis buat menyeimbangkan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ayo ke Jakarta Biennale! Besok Hari Terakhir

16 Januari 2016   13:17 Diperbarui: 16 Januari 2016   20:31 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hampir 3 bulan Epel mengikuti keberadaan air tiga tempat; Kampung Geulis Bogor, serta Kampung Pulo dan Kampung Maja di Jakarta, rangkaian foto yang dihasilkan merupakan kegaraman sifat air. Air bisa santai di suatu tempat, diam di tempat lain atau berbuih di tempat lainnya. Bisa menunjukan kejernihan sekaligus kekotoran.

Melalui karya ini Epelsecara khusus berbicara tentang makna perempuan dan air. Selama ini perempuan diasosiasikan dengan bekerja domestik, seperti mencuci dan beberes rumah, sementara air adalah simbol pemeberi kehidupan. Ibu Pertiwi.

Berbeda dengan yang dilakukan Iswadi. Seniman kelahiran Pidie 1977 silam yang kini aktif di salah satu sanggar lukis bernama Apotek Wareuna menjadi satu-satunya lukisan yang dipajang di Jakarta Biennale.

Lukisan pertama Iswadi adalah 'Menjamu Tamu', 'Konferensi Air', dan 'Robot Kapitalis'. Melalui kanvas yang masing-masing berukuran 140 x 290 sentimeter tersebut Iswadi mencoba berbicara tentang komersialisasi air. Seperti di 'Menjamu Tamu', dia mempertanyakan air tanah itu milik siapa. Sedangkan di karya kedua menampilkan seekor lalat besar berbentuk robot sedang mengisap bumi yang gersang. Selain itu, Iswadi juga menampilkan sebuah gelas yang besar dan bumi yang bertengger di sisinya. Tak jauh dari gelas, ada ekor lalat mengisap air yang tumpah.  Melalui karya lukisannya Iswadi seolah menggambarkan metafora bagi orang-orang yang mengisap hasil alam, termasuk air.

[caption caption="Melalui karya lukisannya Iswadi seolah menggambarkan metafora bagi orang-orang yang mengisap hasil alam, termasuk air."]

[/caption]Kedua: Sejarah

Refleksi terhadap masa lampau pada masa kini, memori dan tradisi membentuk perilaku kita hari ini. Sejarah Bangsa kita  banyak kejadian dan peristiwa yang menjadi luka dan trauma perlu untuk dibicarakan kembali. Melalui media seni, sejarah dapat dituturkan kembali dengan cara yang mampu menggugah kesadaran masyarakat. Karya seni bisa menjadi sebuah platform yang baik untuk kembali membicarakan tentang peristiwa sejarah. Tidak hanya sekadar membicarakan, tapi juga sebagai pengingat. Salah satu cara untuk menghargai dan menanggapi apa yang terjadi di masa lalu.

Seperti karya seniman Idrus bin Hasan yang membuat mural menyerupai burung Garuda bertuliskan 'Bhoneka Tinggal Luka'. Sebagai ungkapan untuk Aceh yang tidak punya ruh untuk bergerak sesuai dengan keinginannya sendiri.  Sedang  istilah  'Menolak Jawai' sengaja digunakannya sebagai kata yang cocok untuk mengingat kembali peristiwa yang terjadi di Aceh, mengkritisi dan merespons kota kelahirannya.

“Kata ‘Jawai, Bukan kata ‘Jawa’ Karena saya lebih senang menggunakan kata ‘Jawai” daripada menolak lupa.”, ungkap Idrus,  Pendiri Komunitas Kanot Bu. Kata 'Jawai' dalam bahasa Aceh berarti penyakit lupa yang kerap melanda para lansia atau dikenal dengan 'pikun'.

[caption caption="Garuda bertuliskan 'Bhoneka Tinggal Luka'. Karya Idrus bin Hasan Sebagai ungkapan untuk Aceh yang tidak punya ruh untuk bergerak sesuai dengan keinginannya sendiri."]

[/caption]Ketiga: Isu Gender

Identitas gender dan pembagian peran gender dalam masyarakat. Banyak dari kita yang mencoba untuk kompromi atau bahkan menentang pada batasan identitas gender yang ada. Pembagian gender yang timpang melahirkan relaksi kuasa yang sering kali beujung pada kekerasan.

Sebanyak 5 seniman perempuan Tanah Air berpartisipasi dan membuat mural di 5 wilayah ibukota dan dinding Gudang Sarinah, Jalan Pancoran Timur 2, Jakarta Selatan. Mereka adalah Cut Putri asal Banda Aceh yang buat mural di Komunitas Paseban, Jakarta Pusat. Dari Jakarta, ada 4 seniman yang berpartisipasi yakni Aprilia Apsari dan Wonderyash di Rusunawa Marunda, Jakarta Utara. Serta Sanchia T.Hamidjaja di Petamburan, Jakarta Barat. Seniman yang terakhir adalah Marishka Soekarna asal Depok. Dia membuat mural di Taman Kanak-kanak (TK) di Penjaringan, Jakarta Utara. Kelimanya pun tengah menciptakan mural di gudang pertama Sarinah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun